Asas Parpol Masih Jadi Ganjalan
Pengesahan UU Parpol

Asas Parpol Masih Jadi Ganjalan

Enam fraksi dari partai berasas Islam menyampaikan nota keberatan atas disahkannya UU Parpol. Mereka menolak Islam menjadi subordinasi dari Pancasila dan UUD 1945.

Lut
Bacaan 2 Menit
Asas Parpol Masih Jadi Ganjalan
Hukumonline

 

Ketentuan ini, lanjut Lukman dapat menimbulkan problematika sendiri di masyarakat. Menurut Lukman, frase ‘...merupakan penjabaran dari Pancasila ....' yang kemudian dikaitkan dengan asas dan ciri parpol adalah sesuatu yang bisa menimbulkan persoalan.

 

Lukman menyadari bahwa setiap parpol memiliki asas yang berbeda-beda. Misalnya, kata Lukman, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang memakai Islam sebagai asas. Jika dikaitkan dengan rumusan Pasal 9 ayat (3), jelas akan menimbulkan penafsiran. Bahwa Islam, asas dari PPP, merupakan penjabaran dari Pancasilan dan UUD 1945. Seakan-akan Islam merupakan subordinasi dari Pancasila karena dia merupakan penjabaran dari Pancasila, tandasnya.

 

Asas lainnya, misalnya Pancasila. Menurut Lukman juga tidak tepat. Kalau kata asas diganti dengan Pancasila maka kalimatnya menjadi ‘....Pancasila merupakan penjabaran dari Pancasila...'. Jadi, Kami menyimpulkan bahwa frase ‘...merupakan penjabaran dari Pancasila ...' itu kurang tepat jika digunakan dalam Pasal 9 ayat (3), tutur Lukman.

 

Karena itu, atas nama PPP, Lukman mengajukan dua opsi. Pertama, kata ‘asas' di Pasal 9 ayat (3) dihilangkan. Sehingga rumusannya menjadi ‘Ciri parpol sebagaimana termaktub.....bla.....bla...'. Opsi kedua, frase ‘...merupakan penjabaran dari...' diganti dengan frase ‘...selaras dan sejalan dengan...' sehingga rumusannya menjadi ‘Asas dan ciri partai politik...bla...bla...selaras dan sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945'. Itu usulan dari fraksi kami. Mudah-mudahan bisa disetujui, ujar Lukman.

 

Kontan saja, interupsi Lukman disambut berbagai tanggapan. Salah satunya dari Ketua Pansus RUU Partai Politik Ganjar Pranowo telah memperkirakan sebelumnya. Ini ekses dari kerja kami yang seakan-akan mengejar setoran, ujarnya. Masalah asas dan ciri parpol ini sudah kita lobikan sebanyak tiga kali. Dan, pada lobi ketiga sampai di break empat kali. Hasilnya, seperti yang tercantum dalam rumusan Pasal 9 ayat (3). Itulah keputusan maksimal yang bisa kita berikan, tambahnya.

 

Berhubungan interupsi terus bertebarang, akhirnya pimpinan Sidang Paripurna Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar memanggil Ketua Pansus RUU Parpol Ganjar Pranowo dari Fraksi PDI Perjuangan dan semua ketua fraksi untuk berdiskusi di meja pimpinan sidang.

 

Bahkan, Muhaimin sempat menskors sidang selama 15 menit untuk menggelar forum lobi. Meski demikian, seperti diakui oleh Lukman Hakiem dan Ketua Fraksi PKS Mahfudz Siddiq, forum lobi tidak menghasilkan kata sepakat. Tidak ada titik temu dalam forum lobi tersebut, tandas Mahfudz.

 

Karena itu, sebelum pimpinan Sidang Paripurna mengetok palu sebagai tanda pengesahan RUU Parpol menjadi UU, wakil-wakil dari fraksi PPP, PKS, PAN, PKB, PBR dan PBPD menyempaikan nota keberatan. Kami tetap setuju RUU ini disahkan menjadi UU. Namun, kami masih berkeberatan dengan rumusan Pasal 9 ayat (3). Kami mohon keberatan kami dicatat dan bagian tak terpisahkan dari proses pengambilan keputusan, ujar Lukman. Pendapat senada juga disampaikan oleh perwakilan dari Fraksi PKS, PAN, PKB, PBR dan PBPD

 

Parpol Berkualitas

Menanggapi nota keberatan dari beberapa fraksi, Mendagri Mardiyanto menegaskan bahwa RUU Parpol telah sah menjadi UU. Nota keberatan itu akan kami kumpulkan sebagai masukan bagi kami di kemudian hari, ujarnya usai sidang paripurna.

 

Dalam kesempatan itu, Mendagri menekankan bahwa UU Parpol yang baru disahkan ini akan menjadi landasan hukum di dalam mengelola parpol sehingga menjadi parpol yang kredibel, modern dan mandiri.

 

Untuk itu kata Mendagri ada tujuh pokok pikiran mendasar yang bisa dinilai sebagai terobosan untuk mencapai parpol yang kredibel, modern dan mandiri. Salah satu yang penting adalah soal keterlibatan dan keterwakilan perempuan di dalam pendirian dan pembentukan serta kepengurusan parpol.

 

Dalam hal keuangan, selain berasal dari iuran anggota dan sumbangan yang sah menurut hukum. Parpol juga akan memperoleh bantuan keuangan dari APBN/APBD. Hanya saja, bantuan ini diberikan secara proporsional bagi parpol yang memperoleh kursi di DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupatan/Kota dimana penghitungannya berdasarkan jumlah peroleh suara.

 

Konsekuensi adanya bantuan ini, parpol dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha agar dalam kehiduopan berpolitik tidak timbul konflik kepentingan. Lagi pula, konsep seperti ini belum dikenal di dalam kehidupan politik di Indonesia, tutur Mendagri.

 

Yang tak kalah menarik, adanya ketentuan baru terkait dengan penyelesaian perselisihan parpol. Rumusannya membuka peluang adanya arbitrase, tandas Mendagri.

 

Pasal 32

(1)   Perselisihan partai politik diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat

(2)   Dalam hal musyawarah mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian perselisihan partai politik ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan

(3)   Penyelesaian perselisihan di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui rekonsiliasi, mediasi atau arbitrase partai politik yang mekanismenya diatur dalam AD dan ART

 

Sementara itu, Koordinator Gerakan Perempuan Peduli Indonesia (GPPI) dan Aliansi Masyarakat Sipil untuk Revisi UU Politik (ANSIPOL) Sri Budi Eko Wardani mengatakan, UU Politik yang baru disahkan akan memberikan terobosan penting bagi partisipasi perempuan di dalam parpol.

 

Menurutnya, keterlibatan perempuan di dalam parpol –sebagai anggota dan pengurus—merupakan hulu dari perjuangan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Aturan yang merupakan hulu tersebut terletak pada dua hal yaitu pembentukan parpol yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) dan ayat (5). Lainnya, soal kepengurusan parpol, yakni di Pasal 20.

 

Bagi Sri Budi, tantangan berikutnya adalah implementasi UU tersebut. UU Parpol yang baru secara jelas telah mengamanatkan adanya pengaturan internal partai tentang tindakan afirmatif bagi perempuan. Namun, lanjutnya sampai sekarang belum semua partai memiliki aturan internal –AD/ART—yang memuat tindakan afirmatif tersebut. Ini PR serius dari gerakan perempuan untuk menggolkannya, ujarnya.

Jauh dari perkiraan semula, pengesahan RUU Partai Politik (RUU Parpol) menjadi Undang-Undang ternyata berlangsung alot. Dalam rapat Paripurna DPR RI yang digelar pada Kamis (6/12) dengan agenda utama pengesahan RUU Parpol, sebanyak 6 fraksi meski menyetujui, mereka tetap menyampaikan nota keberatan. Sedang 4 fraksi lainnya secara bulat menyetujui tanpa embel-embel keberatan.

 

Enam fraksi yang menyampaikan keberatan itu antara lain PPP, PKS, PAN, PKB, PBR dan PBPD. Sedang empat fraksi lainnya yang menyetujui, yakni Golkar, PDI Perjuangan, Demokrat dan Damai Sejahtera.

 

Nota keberatan itu bukan terkait dengan masalah keterwakilan perempuan. Bukan pula masalah perselisihan parpol, atau pun masalah keuangan parpol. Keberatan itu terkait dengan masalah asas parpol.

 

Kami keberatan dengan rumusan Pasal 9 ayat 3 RUU Parpol yang sekarang. Masak Islam seakan-akan jadi subordinasi Pancasila dan UUD 1945, ujar Lukman Hakiem, anggota dewan dari Fraksi PPP, yang melontarkan interupsi saat Sidang Paripurna baru akan dimulai.

 

Pasal 9 ayat (3)

Asas dan ciri partai politik sebagaimana termaktub dalam ketentuan ayat (1) dan ayat (2) merupakan penjabaran dari Pancasila dan UUD Tahun 1945

Tags: