Apong Herlina: Memilih Membela Ketimbang Memberi Keadilan
Edsus Akhir Tahun 2010:

Apong Herlina: Memilih Membela Ketimbang Memberi Keadilan

Berawal dari psikotes, jadilah dirinya pelayan bagi yang lemah.

Inu
Bacaan 2 Menit

 

Sesampai gelar sarjana dia raih, Apong tetap jatuh hati terhadap LBH yang kala itu dipimpin Nursyahbani Kantjasungkana. Dia meneruskan bekerja di LBH sekalipun gaji yang didapat kecil. Namun keyakinan untuk membela yang lemah, tak bisa lepas dari benak dan hatinya.

 

Bahkan oleh Mbak Nur, begitu dia sapa atasannya di LBH, Apong diajarkan untuk menyadari, membela yang lemah itu harus dibekali dengan kelebihan lain termasuk pantang menyerah. Oleh sebab itu, bos Apong memaksanya untuk bisa menjadi pembicara dalam diskusi mengenai tenaga kerja, suatu hal baru baginya dan tentu ditolak keras. “Kamu harus bisa, siapa lagi kalau bukan kamu,” kenang Apong akan pernyataan Nursyahbani yang dia jawab dengan kemauan dan akhirnya memang bisa dia lakukan.

 

Apong mulai memfokuskan diri pada pembelaan hak pekerja. Pelbagai sengketa antara pekerja dan pemberi kerja dia tangani, termasuk pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pilihan itu menarik Apong untuk mendalami hukum dan segala hal mengenai ketenagakerjaan.

 

Pilihan itu membuat risau sang bunda. Begitu pula kakak-kakaknya. Pasalnya, tak hanya sekali mereka mengetahui tubuh kecil Apong berada di tengah-tengah kerumunan pekerja yang melakukan aksi menuntut hak mereka.

 

Kerisauan keluarga makin meninggi. Apalagi mengetahui tak hanya sekadar mendampingi, pernyataan keras Apong terekam dalam berbagai media massa. Suara sama direkam oleh media massa, yang mengecam pengusaha maupun pemerintah karena dia nilai gagal memberi kesejahteraan pada pekerja swasta, BUMN, dan PNS.

 

“Jika saya sungguh-sungguh, ibu dan keluarga merelakan pilihan saya,” kenang Apong menjawab ‘pengadilan keluarga’ akan pilihan dan masa depan hidupnya. Lepas sudah satu beban dan dijawab Apong dengan apa yang kini dia raih.

 

Bersamaan dengan itu, Apong menyadari, setiap tenaga kerja yang dia bela tentu banyak menemukan masalah. Terutama pada keluarga. “Paling menderita adalah anak-anak.”

Tags: