Amnesti untuk Nuril
Kolom

Amnesti untuk Nuril

​​​​​​​Amnesti semata-mata diberikan untuk mencegah terjadinya eksekusi terhadap innocent people seperti Nuril akibat kekhilafan proses hukum.

Bacaan 2 Menit

 

Dalam tulisan penulis di detik.com dengan judul “Vonis Baiq Nuril dan Kenaifan MA,” tertanggal 28 November 2018, penulis mengatakan, “MA sejak awal memang tidak konsekuen terhadap aturan yang ada. Alih-alih mengusulkan ke pemerintah atau DPR untuk merevisi aturan yang dirasakan tidak memberikan kepastian seperti ini, MA ternyata sama saja diam seribu bahasa dan tetap mempedomani itu hingga terus-menerus praktik yang sama diterapkan.” Artinya, terjadi pembiaran untuk menerapkan hukum sesuai kehendak aparat hukum saja.

 

Terlepas dari legalisasi vrijspraak, problem penerapan hukum oleh MA yang sama saya kira dapat dilihat juga dalam konteks bagaimana MA seharusnya mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum, khususnya kasus Nuril ini. Sialnya, tidak menguntungkan bagi Nuril. Konteks di sini adalah bahwa aturan membolehkan hakim MA untuk melakukan sesuatu yang terbaik bagi Nuril namun mereka tidak melakukannya. Menurut Perma No. 3 Tahun 2017 yang pada pokoknya memerintahkan kepada hakim agar dalam memeriksa perkara perempuan berhadapan dengan hukum kiranya mengidentifikasi soal dampak psikis yang dialami korban, riwayat kekerasan dari pelaku terhadap korban dan lain sebagainya. Dalam kasus Nuril, hakim luput pada kepentingan korban tetapi sangat peka terhadap kepentingan pelaku.

 

Nuril memang bernasib malang. Tetapi melihat perkembangan kasus ini, jelas-jelas ada sebuah peradilan yang sesat (Rechterlijke Dwaling). Peradilan sesat bisa terjadi karena sesat fakta dan bisa juga karena sesat dasar hukumnya. Keduanya sama-sama menghasilkan putusan yang merugikan terdakwa/orang yang diperiksa dalam sidang tersebut. Akar persoalannya karena bahan mentah/fakta hukum bukanlah kebenaran sejati atau niet materiele waarheid (Kurniawaty, 2017:339). Kepalsuan atau ketidakbenaran fakta yang diajukan ke pengadilan bila diyakini sebagai kebenaran maka proses itu sesat dan putusannya adalah putusan peradilan sesat.

 

Mengabaikan fakta Nuril adalah korban pelecehan seksual dan bukan pelaku serta adanya putusan bebas di tingkat PN Mataram adalah sebuah ketidakbijaksanaan. Rasanya terlalu dipaksakan terpenuhinya unsur-unsur dalam Pasal 27 ayat (1) tersebut. Toh, fakta vonis bebas di PN Mataram membuktikan tidak terpenuhinya unsur mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan.

 

Sebenarnya pertanyaan penulis adalah siapakah yang ketika memenuhi seluruh unsur Pasal 27 ayat (1) tidak melanggar aturan tersebut? Menurut penulis seharusnya logikanya, Nuril salah satu orang berhak untuk menyebarluaskan informasi tersebut karena hal tersebut terkait erat dengan kepentingan dirinya. Karena sangat konyol ketika dalam konteks ini kita mengatakan seharusnya Muslim lah yang berhak untuk menyebarluaskan karena itu konten asusilanya. Yang jelas, dari paparan di atas, menurut hemat Penulis cukup menggambarkan betapa belum konsekuennya penegakan hukum di Indonesia bahkan pada level tertinggi dan agung di MA.

 

Amnesti Nuril

Berdasarkan alasan-alasan yang telah terungkap di atas, menurut hemat penulis cukup alasan kuat bagi Presiden Joko Widodo untuk memberikan amnesti kepada Baiq Nuril. Amnesti semata-mata diberikan untuk mencegah terjadinya eksekusi terhadap innocent people seperti Nuril akibat kekhilafan proses hukum.

 

Seperti postulat “melepaskan seribu orang yang bersalah lebih baik daripada memenjarakan satu orang yang tidak bersalah.” Negara harus hadir untuk memberikan perlindungan tersebut. Terlebih lagi karena dia perempuan korban pelecehaan seksual yang dikerdilkan hak-haknya selaku korban dan perempuan yang mestinya dilindungi.

Tags:

Berita Terkait