Dua Lembaga Ini Dukung Presiden Terbitkan Amnesti untuk Baiq Nuril
Berita

Dua Lembaga Ini Dukung Presiden Terbitkan Amnesti untuk Baiq Nuril

Instrumen hukum yang ada belum dinilai belum mampu mengungkap pelecehan seksual nonfisik seperti dalam kasus Baiq Nuril. Karena itu, kasus Baiq Nuril momen bagi pembentuk UU untuk mengesahkan RUU PKS.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Komnas Perempuan. Foto: SGP
Komnas Perempuan. Foto: SGP

Ditolaknya permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Baiq Nuril Maknun mendapat sorotan banyak pihak. Putusan PK bernomor 83PK/Pid.Sus/2019 itu memperkuat putusan kasasi No.574K/Pid.Sus/2018 yang intinya menyatakan Baiq Nuril bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.” Putusan kasasi itu menjatuhkan pidana selama 6 bulan dan denda Rp500 juta.

 

Komisioner Komnas Perempuan Budi Wahyuni mengatakan lembaganya prihatin dengan putusan MA tersebut. Komnas Perempuan berpendapat Baiq Nuril adalah korban pelecehan seksual nonfisik. Perekaman yang dilakukan Baiq Nuril atas dugaan pelecehan seksual yang dialaminya itu dalam rangka melaporkan peristiwa tersebut untuk mendapat keadilan. Sayangnya, Baiq Nuril dijerat UU ITE karena dianggap menyebarkan dokumen elektronik yang memuat pelanggaran kesusilaan. Ironisnya, pihak yang sesungguhnya menyebarkan dokumen tersebut, dan pelaku pelecehan seksual malah lolos dari jerat hukum.

 

Meski menghargai putusan MA itu, Budi mengatakan Komnas Perempuan menyayangkan majelis hakim tidak menggunakan Perma No.3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum dalam memeriksa perkara ini. Padahal, Perma ini penting untuk mengenali hambatan akses perempuan pada keadilan sekaligus langkah afirmasi menciptakan kesetaraan seluruh warga negara di hadapan hukum.

 

Komnas Perempuan juga menyayangkan sikap Polda NTB yang menghentikan penyidikan kasus perbuatan cabul yang dilaporkan Baiq Nuril. Penghentian kasus ini terjadi karena aparat tidak mampu menerjemahkan batasan perbuatan cabul sebagaimana diatur KUHP. Aparat hanya memahami perbuatan cabul yang dilakukan dengan kontak fisik. Kondisi ini membuat korban kekerasan dan pelecehan seksual nonfisik tidak pernah terlindungi.

 

Budi menilai instrumen hukum yang ada sangat terbatas, sehingga tidak bisa mengenali berbagai bentuk kekerasan seksual. Alih-alih mendapat keadilan, korban pelecehan dan kekerasan seksual malah potensial dikriminalkan. “Keterbatasan sistem hukum ini bukan hanya dari sisi materil, tetapi juga formil (hukum acara) sebagai standar yang harus dijalankan pengadilan, sejak dari penerimaan laporan hingga persidangan,” kata Budi dalam jumpa pers di kantor Komnas Perempuan Jakarta, Senin (8/7/2019). Baca Juga: MA Luruskan Kekeliruan Persepsi Kasus Baiq Nuril

 

Momen sahkan RUU PKS

Sedikitnya ada 5 rekomendasi Komnas Perempuan untuk perkara ini. Pertama, mendesak DPR RI dan pemerintah segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dan memastikan ketentuan terkait 9 jenis kekerasan seksual termasuk pelecehan seksual tetap dipertahankan. Kedua, meminta Presiden Joko Widodo memberikan amnesti untuk Baiq Nuril sebagai langkah khusus sementara atas keterbatasan sistem hukum pidana dalam melindungi korban kekerasan seksual.

 

Ketiga, meminta hakim pengawas MA mengoptimalkan fungsi pengawasan atas pelaksanaan Perma No.3 Tahun 2017 di lingkup pengadilan sejak tingkat pertama sampai MA. Keempat, mengusulkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) dan Dinas PPPA mengupayakan pemulihan serta pendampingan untuk Baiq Nuril, terutama kepada keluarga dan anak-anaknya yang masih kecil.

Tags:

Berita Terkait