Amnesti untuk Nuril
Kolom

Amnesti untuk Nuril

​​​​​​​Amnesti semata-mata diberikan untuk mencegah terjadinya eksekusi terhadap innocent people seperti Nuril akibat kekhilafan proses hukum.

Bacaan 2 Menit

 

Ketiga, pemberian amnesti menunjukan bahwa presiden masih mempunyai pengaruh dalam masalah hukum dan kehakiman, walaupun saat ini dibatasi. Pemberian amnesti seringkali disebut sebagai wewenang yudikatif presiden. Wewenang ini harus dimaknai sebagai upaya  menyelamatkan kepentingan negara terhadap kekacauan sistem hukum dan/atau kekhilafan dalam proses hukum secara yang dibiarkan justru berbahaya bagi penegakan hukum itu sendiri.

 

Tindakannya dirasa perlu agar tidak terjadi praktik yang lebih buruk apalagi menjadi sebuah preseden dalam penegakan hukum kita. Hal ini selaras lagi dengan konsep distribution of power di atas. Apakah kemudian wewenang ini adalah bentuk intervensi penegakan hukum? Tentu saja tidak bisa dimaknai seperti itu. Presiden tidak sedang mengintervensi proses hukum atau vonis pengadilan. Melainkan menggunakan wewenang hukumnya yang sudah diatur dalam UUD dan UU.

 

Keempat, pemberian amnesti mengakibatkan semua akibat hukum terhadap orang-orang yang dimaksud dihapus. Misalnya, seseorang telah divonis pengadilan hukuman penjara 1 tahun. Hal ini bermakna, akibat hukum yang semula dipikul orang tersebut dianggap tidak ada. Ia tidak perlu menjalani hukumannya itu. Bahkan keseluruhan hal yang berkaitan dengan baik berkaitan dengan perbuatan orang tersebut, kemudian dasar hukum yang diterapkan hingga setiap tahapan proses penegakan hukum terhadapnya dianggap tidak pernah ada. Hal ini adalah yang dimaksud sebagai konsekuensi penghapusan itu.

 

Tidak Bersalah ke Bersalah

Kasus Baiq Nuril memuat alur cerita tragis yang semula divonis tidak bersalah menjadi bersalah. Sebelumnya, Nuril divonis bebas oleh majelis hakim PN Mataram karena tidak bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) UU ITE dengan ancaman hukuman paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar tanggal 26 Juli 2017.

 

Namun pada tanggal 28 September 2018 dalam putusan kasasi, MA memutus Nuril bersalah dan dipidana penjara 6 bulan dan denda Rp500 juta. Penyebabnya karena Nuril merekam pembicaraan mesum seseorang yang bernama Muslim dan menyebarkannya. Tetapi sebetulnya, Nuril adalah korban pelecehan seksual pria tersebut dan dia diduga bukanlah pelaku sesungguhnya yang menyebarkan konten bermuatan melanggar asusila tersebut. Tak terima vonis itu, Nuril mengajukan PK. Sayangnya, upaya hukum luar biasa ini akhirnya dinyatakan ditolak majelis hakim MA yang digawangi Margono selaku Ketua Majelis dengan anggota majelis Desniyati dan Suhadi tertanggal 4 Juli 2019.

 

Cerita menarik tentu saja dapat disimak dari vonis bebas ke vonis pemidanaan. Adalah duet jaksa dan hakim MA dalam hal kasasi putusan bebas (vrijspraak). Secara historis, vrijspraak tidak dapat diajukan kasasi sebagaimana diatur dalam Pasal 244 KUHAP. Apa yang kemudian terjadi adalah adanya ketidaksepahaman dan/atau penafsiran hukum yang beragam dari aparat penegak hukum termasuk jaksa dan hakim terhadap pasal tersebut. Lantas, dalam beberapa kasus jaksa nekat saja mengajukan kasasi ke MA dan disambut baik dalam artian MA juga memberikan vonis yang mengabulkan permohonan tersebut. Tetapi, ketika itu dalam area terselubung. Maksudnya, mereka menabrak Pasal 244 KUHAP.

 

Kemudian demi untuk memperoleh suatu kepastian hukum, seorang pensiunan PNS Pemkab Pasaman Sumatera Barat mengajukan judicial review dan melalui putusan No. 144/PUU-X/2012 tertanggal 28 Maret 2013, MK berpendapat frasa “kecuali terhadap putusan bebas” sebagaimana tercantum dalam Pasal 244 KUHAP adalah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Disinyalir dalam rentang waktu yang cukup panjang persoalan di atas berjalan dalam area abu-abu saja. Mengapa baik Kejaksaan atau MA tidak mengajukan judicial review?

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait