Amir Syamsudin: Kalau Akbar Dibebaskan, Itu Patut Disyukuri
Utama

Amir Syamsudin: Kalau Akbar Dibebaskan, Itu Patut Disyukuri

Kasus Akbar Tanjung akan menjadi salah satu barometer penegakan hukum di negeri ini. Maklum, Akbar adalah salah satu calon presiden dari Partai Golkar, politisi yang memimpin lembaga tinggi negara, di mana ratusan wakil rakyat berkumpul.

Nay
Bacaan 2 Menit
Amir Syamsudin: Kalau Akbar Dibebaskan, Itu Patut Disyukuri
Hukumonline

 

Ada kesan di masyarakat bahwa Akbar bersalah dan harus segera dihukum walau belum ada putusan majelis?

Jangan diklaim masyarakat dulu, sebagian. Semalam saya baru menonton di televisi tentang hasil jajak pendapat bahwa Golkar itu nomor satu. Jadi, kalau Anda bicara pendapat, tidak mencerminkan hasil jajak pendapat itu. Sebab bisa melampaui PDIP. Anda boleh katakan tidak ada kaitannya, tapi Akbar dan Golkar itu kan tidak bisa dipisahkan. Kalau dibilang itu pendapat masyarakat, kok bisa hasil jajak pendapat seperti itu. Dan jajak pendapat ini dilakukan oleh televisi lho, jelas bukan kampanye Golkar. 

 

Tapi kalau dilihat di media misalnya, pendapat yang berkembang adalah jika MA membebaskan Akbar, maka berarti ada apa-apanya, ada intervensi?

Saya kira mereka yang memberikan komentar itu tidak bisa melepaskan diri bahwa mereka mewakili kepentingan, paling tidak kepentingan diri sendiri. Jadi, tidak pada tempatnya jika pendapat seorang atau sekelompok dijadikan ukuran. Saya tidak menafikan adanya penyampaian pendapat yang dilakukan adik-adik mahasiswa itu murni. Tapi saya kira kalau kami kan bukan hanya permukaannya, lebih ke pendalaman. Namun kami tidak akan mengimbangi teriakan mahasiswa bahwa Akbar bersalah dan harus dihukum. Saya juga bisa berteriak Akbar tidak bersalah dan harus dibebaskan.

 

Mereka melihat bahwa putusan PN menghukum lalu diperkuat oleh PT. Dengan posisi itu tidak mungkin tidak Akbar tidak bersalah. Ini karena mereka melihat proses dengan kacamata yang sederhana. Mereka melupakan bahwa MA berbeda dengan posisi hakim-hakim pengadilan tingkat pertama dan kedua, yang hanya menguji fakta. Pada tingkat kasasi, yang diuji adalah masalah penerapan dan pelaksanaan hukum. Sehingga kalau secara sederhana orang melihat, faktanya seperti itu. Tapi kami mengajukan kasasi itu jelas dengan menyatakan keberatan-keberatan yang dituangkan dalam memori kasasi. Apakah hukum telah diterapkan, apakah hukum telah dilaksanakan? Perbedaannya di sana. Jadi agak sulit bagi kami memaksakan apa yang kami kuasai. Hanya orang-orang yang menguasai saja yang bisa mengerti dan kita tidak mengharapkan serta merta orang awam dapat mengerti.

 

Nurhasyim Ilyas, salah seorang patner di kantor Amir Syamsuddin yang ikut dalam wawancara, memberikan pendapatnya.

 

Nurhasyim Ilyas (NI): Justru itu. Kacamata orang lain dengan kita ada gap sehingga timbul pernyataan itu. Dalam perkara ini, jangan dicampuradukkan antara image dengan kasus yang dibawa ke pengadilan. Kasus Akbar itu adalah apa yang didakwakan jaksa, sementara orang lebih banyak omong bukan (soal) itu. Orang hanya bicara desas-desus. Misalnya, duit yang katanya digunakan Golkar. Padahal kasus Akbar bukan itu. Kasus itu tidak ada, hanya omongan orang. Jadi kasus yang diomongin orang tidak sama dengan yang didakwakan jaksa. Jadi kasus Akbar yang kita tunggu ini adalah kasus yang didakwakan jaksa. Sudah terlanjur orang mengira ini kasus yang lain dan dalam hal lain.

 

Nur lalu menyampaikan panjang lebar mengenai kasus posisi perkara korupsi dana Bulog Rp40 M dengan terdakwa Akbar Tandjung, berdasarkan dakwaan jaksa. Waktu krisis, Habibie memerintahkan Bulog mengeluarkan dana untuk proyek sembako bagi daerah-daerah miskin. Akbar sebagai pejabat yang menerima duit dan menunjuk siapa pelaksananya. "Menko Taskin yang menunjuk, Amir Syamsuddin menyela.

 

Yang dipersoalkan oleh jaksa itu, menurut UU atau peraturan pelaksanaannya yaitu Keppres, kalau ada proyek harus ditenderkan, Akbar disalahkan karena tidak ditenderkan. Nah itulah, dalam keadaan krisis, terpaksa Akbar melaksanakan itu tanpa mentenderkan. Lantaran ada rekomendasi dari Menko Taskin mengenai yayasan yang patut, sudah ditunjuk, tidak ada tender. Memang menurut UU harus ada tender, itu disalahkannya.

 

Yayasan hanya melaksanakan sebagian kecil, lalu setelah ribut-ribut yayasan bilang, salah kami, banyak maaf, lalu dikembalikan semua duitnya. Karena yayasan itu tidak mengerjakan dengan baik, Akbar dianggap kurang mengawasi. Tapi menurut Akbar, ia cukup mengawasi. "Jangka waktu tugasnya sebagai Mensesneg kan sudah berakhir, Amir menyela.

 

(NI): Belum ada laporan tuntas, tapi jabatannya sudah diganti. Jadi kalau dilihat di situ ada kerjasama dengan yayasan, di mana kerjasamanya? Kalau tendernya, Akbar dalam pembelaannya menyatakan karena dalam keadaan krisis melaksanakan perintah, dalam keadaan darurat. Itu benar. Kita tidak bisa mengatakan yang lain. Karena memang hal itu sesuai dengan keadaan darurat dan ia harus cepat. Dan mempercayai rekanan yang ditunjukkan Menko Kesra. Kesalahan orang sana (yayasan), itu, apa benar bisa dilimpahkan ke Akbar. Jadi kita membelanya dari dakwaan jaksa.

 

Putusan PN dan PT menyatakan Akbar melanggar asas-asas umum pengelolaan keuangan negara, semisal APBN?

(NI) Kalau hakim itu mengatakan asas-asas umum, itu artinya kan bukan peraturan. Jadi, begini ya, asas umum bukan peraturan. Kalau asas itu kan aturan tidak tertulis. Menurut yurisprudensi dan hukum dasar yang sesungguhnya, orang dihukum tidak boleh karena aturan yang bersifat asas-asas. Orang hanya boleh dibebaskan dengan asas-asas. Menguntungkan boleh. Walaupun di Indonesia pernah dalam kasus Natalegawa, ia dihukum karena asas-asas. Tapi  ahli hukum tidak mengakui kebenaran itu. Kebenaran itu ada dua formal dan materiil. Formal menurut undang-undang, materiil itu menurut nilai-nilai kepatutan. Dalam pidana, orang tidak boleh dihukum dengan nilai-nilai kepatutan, tapi hanya boleh dihukum kalau melanggar aturan yang formal. Tapi, orang boleh dibebaskan berdasarkan nilai-nilai kepatutan. Itu pembelaan kita.  Tidak ada yang dilanggar (oleh Akbar). Yang dilanggar hanya asas-asas.

 

Ada informasi bahwa Akbar akan dibebaskan karena hanya melaksanakan perintah presiden. Sesuai pasal 51 (1) KUHP, yang melaksanakan perintah presiden tidak dipidana?

(NI) Sebenarnya kalau dibilang begitu juga keliru. Ada (dalam memori) ,tapi sedikit. Presiden tidak menyuruh melakukan tanpa tender. Karena ada dalam UU,  kalau orang melaksanakan perintah jabatan tidak boleh dihukum, kalau maunya pembelaan ke sana. Tapi menurut saya bukan begitu. Apakah ada Akbar diperintahkan presiden untuk melakukan tanpa tender, itu yang tidak benar. Dia itu hanya disuruh melaksanakan. Presiden tidak jelas memerintahkan tender atau tanpa tender. Jadi kalau kita membela atas dasar hanya melaksanakan perintah presiden, bukan begitu. Memang ada, tapi intinya bukan di situ. Jadi presiden tidak memerintah Akbar melakukannya tanpa tender, tidak ada itu. Presiden meminta dia sesuai dengan kebijaksanaan Akbar, Akbar melaksanakannya tanpa tender. Tanpa tender ini pertimbangannya karena keadaan darurat. Keadaan darurat ini karena harus cepat. Inilah sebagai pembelaannya, bukan karena perintah presiden. Yang berdasarkan perintah presiden adalah mengapa dia menggunakan uang Bulog. Itu yang benar. Kalau dari situ benar, karena uang Bulog hanya digunakan untuk melaksanakan tugas Bulog dalam hal bahan pokok kebutuhan rakyat, tidak boleh digunakan untuk ini. Nah, Akbar melaksanakan ini karena perintah presiden, itu benar.

 

Apa sebenarnya keadan darurat yang dimaksud di situ. Kalau keadaan darurat di Aceh misalnya, kan jelas ada Keppresnya?

(NI) Di situ kalimatnya Habibie sendiri. Saya sudah tidak ingat bunyinya, tapi dalam bukti sudah diterangkan surat Habibie dari Jerman, keadaannya begini-begini. Termasuk dalam keadaan darurat itu, Habibie membolehkan menggunakan uang Bulog. Jelas kan? Kalau tidak dalam keadaan darurat mana boleh menggunakan uang Bulog. Yang kedua kalau tidak darurat, tidak mungkin menunjuk menteri Sesneg untuk melaksanakan hal itu. Jelas itu.

 

Dalam kontra memori, JPU menyatakan bahwa isi memori kasasi hanya mengulang-ulang apa yang sudah disampaikan di pengadilan sebelumnya, sehingga bukan merupakan alasan mengajukan kasasi dan tidak perlu ditanggapi. Komentar Anda?

(AS) Menurut penilaian saya, itu lebih kepada ketidakmampuan dia menyimak. Jadi secara mudah dia menyatakan kalau hanya mengulang-ulang. Kalau dia mau sedikit menyimak atau menstimulir dia punya kemampuan, pengetahuan, perbendaharaan yurisprudensi dan asas-asas hukum, mustinya dia  hadapi dengan cara seimbang dan layak. Saya meragukan, barangkali kemampuan dia sedemikian rupa, sehingga  cari cara yang mudah. Dia lari saja mengatakan itu mengulang-ngulang sehingga menjadi kurang seru. Kita harapkan adanya keseimbangan dalam berargumentasi.

 

(NI) Jadi ada dua. Pertama, penerapan hukum di kasasi dan kedua, pertimbangan fakta di judex facti. Itu sebenarnya apa yang disebut fakta. Memang logis bahwa di Mahkamah Agung tidak perlu lagi mempertimbangkan kembali fakta yang sudah dipertimbangkan. Itu mungkin yang dimaksud JPU. Fakta lahirnya dari bukti. Orang selalu mengatakan secara umum, asal kita menyinggung kata fakta, langsung dikatakan tidak boleh. Tidak begitu, bukan berarti tak persoalkan bukti dan fakta lagi. Sebab, di dua pengadilan di bawah, ada fakta lain yang belum pernah dipertimbangkan. Lawan kita asal kita menyinggung bukti langsung bilang itu tidak boleh karena sudah di kasasi mengenai fakta. Padahal bukan begitu. Misalnya, pertimbangan dua pengadilan yang di bawah, dalam pertimbangan hukumnya tidak mempertimbangkan fakta x dan y, hanya z dan a, b, c. Kita harus bilang ke hakim kasasi karena tidak menerapkan penerapan hukum fakta lain yaitu x, y, z. Karena penerapan hukum mengatakan hakim harus mempertimbangkan bukti-bukti. Ternyata fakta x dan y tidak dipertimbangkan. Jadi, kalau saya membawa fakta x dan y tadi bukan membawa fakta, tapi penerapan hukum.

 

Dalam kasus Akbar, apa yang menjadi fakta x dan y itu?

(NI) Keadaan darurat tidak dipertimbangkan, padahal penunjukan Akbar dan penggunaan uang Bulog jelas darurat. Dia bilang kerjasama, kalau bersama-sama (Dadang dan Winfried) itu harus sama perlakuannya. Ternyata kedua perbuatan yang disalahkan berbeda. Ada beberapa fakta lain, tapi saya lupa.

 

Ada dua tim hukum Akbar, yaitu tim litigasi dan tim non litigasi. Apa bedanya?

(AS) Saya tidak tahu. Hanya kami yang membela di pengadilan. Mungkin tim hukum Golkar ya, kami bukan anggota dan tidak ada hubungan. Sejauh ini saya belum berkoordinasi dengan mereka.

 

Kalau tim litigasi siapa saja?

(AS) Saya, Pak Nurhasyim, Denny Kailimang, John H. Waliry, Atmajaya Salim dan Marten Pongrekun.  Kemungkinan, walaupun saya tidak tahu, itu untuk pendapat hukum bagi Akbar. Tapi di luar dari litigasi itu.

 

(NI): Memang ada sih pendapat-pendapat, tapi terserah kita mau memasukkan atau tidak. Terus terang saja, kantor Pak Amir yang mengkoordinir. Tidak harus dimasukkan pendapat mereka.

 

(AS)Walaupun ada niat untuk membantu Akbar tetapi kami yang memutuskan relevan atau tidak.

 

Apakah tim kuasa hukum pernah menemui majelis kasasi Akbar atau bertemu pihak MA?

(AS) Sama sekali tidak, karena kami tidak pernah diminta MA untuk bertemu, berinteraksi apapun tidak ada. Menyusun memori kasasi dan menyerahkan hanya itulah tugas kami. Kami saat ini menunggu, ikut juga terombang-ambing dengan segala rumor dan banyak juga pihak yang menanyakan pada kami apakah ada bocoran dan itu saya kira tidak pada tempatnya kalau saya bersemangat menjelaskan. Namun kalau benar-benar tidak saya lakukan, masak saya harus merekayasa. Tidak sama sekali. Jadi kami sama awamnya dengan masyarakat. Bahkan bocoran ada setelah saya membaca media, ada posisi 3-2 yang membebaskan dengan menghukum. Itu justru saya anggap tulisan di media  yang jadi harapan saya juga.

 

Ada juga kan yang sebaliknya, bahkan dihukum posisi 4-1. Atau sebaliknya, tapi tidak bisa dijadikan pegangan. Apa pun putusannya siap saja. Seperti saya katakan, kalau dibebaskan, itu patut disyukuri. Tetapi jika sebaliknya yang terjadi saya kira masih ada sikap positif yang bisa diperlihatkan oleh Akbar. Bahwa akan ada upaya hukum yang dilakukan tanpa perlu ramai-ramai. Tapi yang pasti, yang positif yang bisa dilakukan adalah dengan mematuhi putusan itu. Karena memang politisasi kasus ini menjadikan Akbar dalam proses, bagian dari perjuangan dia untuk survive. Jadi tidak harus mengulang hal-hal yang telah dikemukakan mengenai keyakinan ketidakbersalahan. Akan lebih positif jika ia menjadi contoh kepatuhan hukum kepada masyarakat.

 

Jadi, kuasa hukum menyarankan pada Akbar untuk mematuhi putusan jika diputus bersalah?

(AS) Begitulah, dan dia secara terbuka telah menyiapkan keluarga dan anak-anaknya untuk menghadapi sepahit apapun putusannya. Kami sebagai penasehat hukum dikumpulkan untuk memberi nasihat dan itulah yang kami sarankan. Kita tidak bisa, walaupun orang menstigmasi dengan pelaku kejahatan biasa, namun ada yang lain. Cukup banyak kepentingan dan dendam politik. Saat ini adalah saat yang tepat untuk bermanuver, itu realita yang tidak bisa dicegah. Itu bagian dari proses perjuangannya.

 

Kalau Akbar dinyatakan bebas, kan ada agenda-agenda berikutnya, seperti maju sebagai calon presiden dan …..?

Saya tidak akan mencoba masuk dengan bidang yang saya tidak kuasai. Saya bukan kader Golkar dan saya tidak pernah menjadi anggota partai Golkar.

 

Maksudnya, jika Akbar bebas lalu menjadi calon presiden, atau presiden, padahal ia telah dinyatakan bersalah oleh dua pengadilan, apakah itu  tidak akan berpengaruh pada legitimasinya?

Secara manusiawi ini kan satu pengalaman. Hukum sendiri akan memberi status kehormatannya dipulihkan. Kita berandai saja ya. Walaupun orang mencoba menetapkan stigma. Seorang PM Thailand yang pernah dituntut juga ternyata setelah bebas ia masih tetap menjabat.


 

     

Sebaliknya, bisa dipastikan bahwa kasus dugaan penyalahgunaan dana non-budgeter Bulog senilai Rp40 miliar itu juga akan menjadi batu ujian bagi Mahkamah Agung (MA). Sebagai benteng terakhir keadilan, MA dihadapkan pada pilihan sulit. Tidak aneh kalau perkara ini ditangani lima orang hakim agung, dan rapat musyawarah majelis beberapa kali diperpanjang.

 

Masalahnya, menjelang pembacaan putusan sudah beredar banyak isu, rumor, atau bocoran informasi. Informasi yang diperoleh hukumonline pun menyatakan bahwa Akbar akan dinyatakan tidak bersalah.  

 

Namun, untuk mengetahui lebih banyak hal, terutama argumen hukum tentang kemungkinan bebasnya Akbar dan langkah-langkah hukum yang akan ditempuh jika Akbar dinyatakan bersalah, hukumonline mewawancarai Amir Syamsuddin selaku kuasa hukum Ketua DPR itu. Selama wawancara (9/02), Amir didampingi oleh Nurhasyim Ilyas.

Halaman Selanjutnya:
Tags: