Namun, baik dalam UU tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU tentang Perubahan UU No.14/1985 tentang Mahkamah Agung, dikatakan bahwa pelaksanaan lebih lanjut ketentuan diatur oleh Mahkamah Agung. Berpijak pada ketentuan yang disebut terakhir, Ketua MA Bagir Manan pernah menegaskan bahwa tata cara publikasi dissenting opinion akan diatur lewat peraturan MA (Perma).
Terlepas dari isi dissenting opinion yang disampaikan Abdul Rahman, ada hal yang perlu mendapat perhatian mengenai teknis pemuatan atau pembacaan dissenting opinion tersebut. Apalagi, menurut sumber yang bisa dipercaya, Abdul Rahman sempat dicegah oleh hakim agung lain beberapa saat sebelum hari pembacaan putusan.
Sebagian besar masyarakat yang menyaksikan pembacaan putusan majelis hakim agung lewat televisi mungkin kurang memperhatikan bahwa dissenting opinion Abdul Rahman dibacakan sehabis Ketua majelis kasasi, Paulus E. Lotulung selesai membacakan seluruh isi putusan.
Setelah selesai membacakan seluruh isi putusan dan mengetokkan palu, barulah Paulus memberitahukan bahwa ada perbedaan pendapat dalam penjatuhan putusan tersebut. Mengingat kata-kata pengantar sebelum pembacaan dissenting opinion itu kami pandang penting, maka kami akan kutipkan ucapan Paulus tersebut berikut ini:
"Perlu disampaikan di sini bahwa dalam penjatuhan putusan ini dalam permusyawaratan terdapat perbedaan pendapat atau Dissenting Opinion yang akan disampaikan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan di dalam putusan ini yaitu Dissenting Opinion yang disampaikan oleh yang terhormat saudara hakim agung Abdul Rahman SH, MH. Untuk itu kami persilakan untuk menyampaikannya. Silakan..".
Dissenting di Pengadilan Niaga
Di satu sisi, kalimat "merupakan bagian yang tidak terpisahkan" dapat dianggap sebagai jaminan bahwa dissenting opinion Abdul Rahman benar-benar merupakan bagian utuh dari putusan. Model pencantuman dissenting opinion seperti ini biasa ditemui dalam putusan majelis hakim Pengadilan Niaga dan Pengadilan HAM.
Perjalanan Dissenting Opinion, dari Pengadilan Niaga ke Mahkamah Agung
No | Tanggal | Perkara | Hakim | Isi Dissenting Opinion | Putusan |
1. | 19 Oktober 2000 | BPPN vs. PT Muara Alas Prima | Elyana Tanzah (hakim ad hoc pengadilan niaga) | Perusahaan yang telah bubar tetap bisa dinyatakan pailit | Menolak permohonan pailit BPPN |
2. | 21 Maret 2001 | BPPN vs. PT Comexindo Maritime dkk | Elyana Tanzah | Jual beli dan pengalihan piutang harus memperoleh persetujuan BPPN | Menolak permohonan pailit BPPN |
3. | April 2002 | Bank Niaga vs. PT Barito Pacific | Tidak disebutkan | Barito terbukti memiliki utang berupa bunga obligasi kepada Bank Niaga | Menolak permohonan kasasi Bank Niaga |
4. | 13 Juni 2002 | Kurator PT Dharmala Sakti Sejahtera vs. PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia | Hasan Basri | Manulife tidak terbukti memiliki utang yang telah jatuh waktu dan dua kreditur | Menyatakan Manulife pailit |
5. | 3 Februari 2003 | Davidoff & Cie vs. NV Sumatera Tobacco Trading Co | Andriani Nurdin | Permohonan pembatalan merek yang diajukan Davidoff & Cie seharusnya dikabulkan | Menolak permohonan pembatalan merek yang diajukan Davidoff & Cie |
Pusat Data Hukumonline
Dissenting di Mahkamah Konstitusi
Akan tetapi, di sisi lain, pembacaan dissenting opinion tersebut dilakukan setelah ketua majelis hakim mengetokkan palu, tanda seluruh isi putusan selesai dibacakan. Sebelumnya, kelima majelis hakim agung kasasi membacakan seluruh putusan secara bergantian selama lebih dari delapan jam.
Memang, UU Kekuasaan Kehakiman ataupun UU Mahkamah Agung tidak menjelaskan mengenai bagaimana pemuatan dissenting opinion yang semestinya. Model pencantuman dissenting opinion yang "terpisah" dari isi putusan, seperti yang ditemui di Pengadilan Niaga atau Pengadilan HAM tidak bisa begitu saja dijadikan patokan oleh majelis kasasi MA.
Pasalnya, model pencantuman dissenting opinion yang demikian tidak dilakukan oleh majelis hakim Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi dalam putusan perdananya (30/12/2003) telah mencantumkan pendapat yang berbeda dari tiga hakim dalam isi putusannya secara utuh dan tidak terpisahkan.
Dalam putusan No. 004/PUU-I/2003, majelis hakim konstitusi memuat pendapat berbeda dari hakim konstitusi Laica Marzuki, Achmad Roestandi, dan H.A.S. Natabaya di bawah bagian berjudul "PENDAPAT BERBEDA" (halaman 18), setelah uraian tentang "Legal Standing Pemohon" (halaman 15) dan sebelum diktum "MENGADILI" (halaman 31).
Dalam bagian "PENDAPAT BERBEDA" dimuat argumen dan landasan hukum dari ketiga hakim konstitusi. Perlu diketahui, dasar hukum dari pencantuman dissenting opinion dalam putusan majelis Mahkamah Konstitusi diatur secara tegas dalam Pasal 45 ayat (10) UU No.24 tentang Mahkamah Konstitusi.
Satu hal yang juga perlu ditegaskan adalah, baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi tunduk pada UU Kekuasaan Kehakiman. Namun, di luar itu keduanya diatur secara khusus (lex specialis) oleh dua UU yang berbeda. Di sinilah letak perbedaan penting pengaturan soal pemuatan dissenting opinion pada masing-masing lembaga yudikatif tersebut.
Di satu sisi, UU No.24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi tidak mengharuskan Mahkamah Konstitusi mengeluarkan peraturan khusus mengenai tata cara pemuatan dissenting opinion. Sementara, UU Mahkamah Agung, khususnya Pasal 30 ayat (4), mengamanatkan MA untuk mengatur lebih lanjut mengenai pemuatan dssenting opinion dalam putusan. Dan Ketua MA telah menegaskan bahwa MA akan mengeluarkan Perma mengenai dissenting opinion.
Apapun perdebatan yang mungkin akan berkembang mengenai pemuatan dissenting opinion dalam perkara kasasi Akbar Tanjung, yang pasti apa yang dilakukan Abdul Rahman bisa menjadi "batu pertama" yang dapat diteruskan atau diikuti oleh hakim-hakim lain di pengadilan yang berada di bawah naungan MA.
Menarik pula untuk dicermati bahwa dissenting opinion ini datang dari Abdul Rahman, hakim agung non karir dalam majelis kasasi kasus Akbar. Ia sebenarnya bukan anggota majelis yang ditunjuk untuk memeriksa perkara Akbar. Abdul Rahman menggantikan posisi Laica Marzuki yang ditugaskan menjadi hakim konstitusi.
Abdul Rahman mengawali kariernya di MA pada tahun 2000. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (FH UGM) kelahiran Pekalongan (61 tahun) ini memulai karirnya sebagai wartawan bidang hukum di Harian Nusantara, Jakarta pada 1968 hingga 1973. Hakim agung ini juga pernah menjabat Direktur LBH Jakarta sejak 1981 sampai 1984.
Mungkin, tak banyak yang tahu kalau Abdul Rahman itu sempat pula menjadi aktor. Pada sekitar tahun 80-an, ia pernah memerankan tokoh utama film layar lebar "Sunan Gunung Jati" dan pada tahun 70-an, bersama Elvy Sukaesih ia pernah bermain dalam film berjudul "Cubit-cubitan". Kali ini, meski bukan seorang wali, Abdul Rahman telah berhasil "mencubit" MA dengan dissenting opinion-nya.
Seperti diketahui, keharusan majelis hakim untuk memuat pendapat hakim yang berbeda dalam putusan diatur dalam dua undang-undang bidang kehakiman yang belum lama ini disetujui pemerintah dan DPR. Aturan tersebut dimuat dalam UU tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU tentang Perubahan UU No.14/1985 tentang Mahkamah Agung.