28 April, MK Gelar Sidang Tiga Pengujian Perppu Covid-19
Berita

28 April, MK Gelar Sidang Tiga Pengujian Perppu Covid-19

Persidangan pengujian Perppu ini mengikuti standar protokol penanganan Covid-19.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Sebelumnya, pada 9 April 2020, sejumlah elemen masyarakat menguji Pasal 27 Perppu No.1/2020 yakni Perkumpulan Masyarakat Antikorupsi (MAKI), Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997, KEMAKI, LP3HI, dan PEKA. Kemudian pada 14 April 2020, Din Syamsuddin, Amien Rais, Sri Edi Swasono, dan kawan-kawan (dkk) mengajukan permohonan serupa ke Kepaniteraan MK melalui aplikasi simpel.mkri.id.

 

Kedua permohonan tersebut, para Pemohon menilai Pasal 27 Perppu No. 1/2020 berpotensi menjadikan pejabat pemerintah atau Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) kebal hukum. Hal tersebut karena Pasal 27 Perppu No. 1/2020 menyebut KSSK atau pejabat pelaksana Perppu tersebut tidak dapat dituntut baik secara pidana dan perdata.

 

Pasal 27 Perppu No. 1/2020

  1. Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
  2. Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
  3. Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.

 

Selain kewenangan yang dinilai kebal hukum, Pasal 27 Perppu No. 1/2020 juga dinilai berpotensi memunculkan korupsi terutama frasa “bukan merupakan kerugian negara”. Tak hanya itu, pasal tersebut dinilai tidak memiliki urgensi dan alasan hukum yang kuat. Apalagi UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah mengatur keuangan negara dalam kondisi tidak normal atau darurat sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) ayat (4) dan ayat (5).

 

Tidak ada kegentingan memaksa

Din Syamsuddin dkk pun mendalilkan Perppu No. 1/2020 tidak memenuhi tiga syarat “kegentingan memaksa” sebagai parameter Presiden menerbitkan perppu berdasarkan Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009. Tiga syarat tersebut yakni adanya keadaan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang; undang-undang yang dibutukan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum; kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan mendesat tersebut memerlukan kepastian untuk diselesaikan.

 

Menurut Pemohon, Perppu No. 1/2020 membahas mengenai masalah keuangan dan anggaran negara, sementara anggaran negara sudah ditetapkan dalam APBN. Kemudian alasan pandemi Covid-19 yang menjadi alasan kekosongan hukum juga tidak terpenuhi. Indonesia tercatat telah memiliki UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan yang dapat dijadikan dasar hukum mengambil kebijakan penanganan Covid-19.

 

Sementara pada Senin (20/4/2020), MK menerima permohonan baru yang ketiga terkait pengujian Perppu 1/2020 yang dimohonkan oleh Damai Hari Lubis yang langsung diregistrasi dengan Nomor 25/PUU-XVIII/2020.

Tags:

Berita Terkait