Pengacara Syahril Anggap PK Oleh Jaksa Tidak Sah
Berita

Pengacara Syahril Anggap PK Oleh Jaksa Tidak Sah

Perdebatan apakah jaksa berhak mengajukan PK atau tidak kembali mencuat dalam perkara ini. Batasan pengajuan PK dalam KUHAP dianggap limitatif.

Oleh:
Mon
Bacaan 2 Menit
Pengacara Syahril Anggap PK Oleh Jaksa Tidak Sah
Hukumonline

 

Sedang Djoko S. Tjandra dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) sebagaimana putusan hakim tingkat pertama. Mahkamah Agung juga menolak permohonan kasasi jaksa. Kini, jaksa sudah resmi mengajukan permohonan PK baik pada perkara Syahril maupun Djoko.

 

Pada persidangan kedua permohonan PK Syahril di PN Jakarta Pusat, jaksa menyiapkan amunisi untuk membuktikan dalilnya, berupa putusan-putusan hakim dalah kasus tersebut, mulai dari tingkat pertama hingga Mahkamah Agung.

 

Jaksa Tidak Berwenang

Dalam sidang ketiga, Selasa (28/10) kemarin, giliran kuasa hukum Syahril yang mengajukan bantahan alias kontra memori peninjauan kembali. Menurut kuasa hukum – antara lain M. Assegaf dan Abdul Hakim Garuda Nusantara - jaksa tidak berhak mengajukan peninjauan kembali.

 

Abdul Hakim menjelaskan KUHAP hanya memberikan hak kepada terpidana dan ahli warisnya untuk mengajukan peninjauan kembali. Hal itu diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Secara filosofis, upaya peninjauan kembali bertujuan untuk melindungi hak azasi manusia terdakwa dari proses peradilan yang keliru.

 

Jaksa dalam memori peninjauan kembali menggunakan dasar hukum lain, yaitu Pasal 23 ayat (1) UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal itu menentukan terhadap putusan yang berkekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada MA, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang

 

Kata ‘pihak yang bersangkutan' dalam pasal itu bisa diartikan sebagai jaksa. Apalagi  Pasal 263 ayat (3) KUHAP menentukan terhadap putusan yang berkekuatan hukum tetap dapat diajukan peninjauan kembali jika dakwaan dinyatakan terbukti namun tidak dijatuhi hukuman.

 

Namun dalil jaksa itu dibantah. Menurut tim kuasa hukum Syahril, Pasal 23 ayat (1) UU No. 4/2004 tidak bisa dijadikan dasar hukum mengajukan peninjauan kembali lantaran sifatnya numum (lex generalis). Sementara aturan mengenai peninjauan kembali diatur secara khusus dalam KUHAP, yaitu Pasal 263 ayat (1) KUHAP.

 

Mahkamah Konsitusi dalam putusannya No. 16/PUU-VI/2008 menyatakan hal senada. Dalam putusan judisial review atas pasal Pasal 23 ayat (1) UU No. 4/2004 itu, Mahkamah Konstitusi menyatakan hakim pidana harus tundur dan menerapkan aturan yang khusus untuk peninjauan kembali, yaitu KUHAP.

 

Mahkamah Agung dalam putusan No. 84/PK/Pid/2006 menyatakan pihak yang boleh mengajukan PK telah diatur secara tegas dan limitatif dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Yakni terpidana atau ahli warisnya. Jika aturan itu dilanggar maka akan melanggar keadilan dan kepastian hukum. Jadi, peninjauan kembali yang diajukan jaksa harus dinyatakan tidak dapat diterima.

 

Lagipula, Syahril Sabirin lolos dari hukuman lantaran Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memutuskan Syahril bebas segala dakwaan (vrijspraak). Artinya, unsur-unsur pasal dakwaan tidak ada yang terbukti. Sementara dalam KUHAP disebutkan peninjauan kembali bisa diajukan jika suatu dakwaan terbukti namun tidak dituntut hukuman. 

 

Melanggar HAM

Kuasa hukum menilai pengajuan peninjauan kembali terhadap Syahril bertentangan dengan HAM. Sebab falsafah peninjauan kembali adalah perlindungan hak azasi terdakwa untuk memperoleh kepastian hukum yang adil dari proses hukum yang dihadapinya. Proses persidangan dari pengadilan negeri, tinggi dan Mahkamah Agung dinilai cukup buat jaksa untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

 

Yurisprudensi yang dipakai jaksa dalam permohonannya tidak bisa dijadikan acuan. Kuasa hukum berpendapat hukum acara Indonesia tidak menganut azas stare decisis (preseden). Azas itu hanya dianut dalam sistem hukum common law (kebiasaan) bukan civil law (mengacu ke undang-undang). Hukum acara pidana juga tidak bisa ditafsirkan secara bebas. Hal itu untuk melindungi hak-hak tersangka atau terdakwa.

 

Sudah setengah abad lebih umur Syahril Sabirin. Tahun ini, usia mantan Gubernur Bank Indonesia itu mencapai 65 tahun. Masa tua Syahril bisa jadi tidak tenang. Setelah bebas dari dari tuduhan korupsi dalam kasus cessie Bank Bali pada 2004 lalu, Syahril harus kembali berurusan dengan hukum. Ancaman penjara seolah membayangi pria kelahiran 14 Oktober itu. 

 

Empat tahun berselang, jaksa pengacara negara kembali menarik kasus ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat lewat upaya hukum peninjauan kembali. Persidangan perdananya digelar pertengahan Oktober 2008. Menurut jaksa Bambang EM, permohonan peninjauan kembali didasari adanya kekhilafan hakim dan pertentangan putusan antara satu perkara dengan perkara lain dalam kasus Bank Bali.

 

Dari tiga terdakwa dalam kasus cessie Bank Bali, yakni Syahril, Djoko S. Tjandra dan

Pande N. Lubis (Wakil Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), hanya Pande yang terbukti bersalah. Pande diganjar hukuman empat tahun penjara, plus denda Rp30 juta subsider enam bulan kurungan.

 

Sementara Syahril, berdasarkan putusan putusan MA No. 1900 K/Pid/2002 dinyatakan bebas dari segala dakwaan (vrijspraak). Majelis hakim agung pimpinan German Hoediarto, beranggotakan Usman Karim dan Paulus Effendi Lotulung, menolak permohonan kasasi jaksa dalam kasus Syahril.

 

Sebelumnya, di pengadilan tingkat pertama, Syahril dihukum tiga tahun penjara. melanggar Pasal 1 ayat(1) sub a jo. Pasal 28 Undang-Undang Tentang Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang No.31/1999 jo. Pasal 55(1) ke1 jo. Pasal 64 KUHP. Namun di Pengadilan Tinggi ia dinyatakan bebas dari segala dakwaan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: