Menilik Alasan Ne Bis In Idem Perkara TSS
Berita

Menilik Alasan Ne Bis In Idem Perkara TSS

Berkas TSS dikembalikan dengan alasan ne bis in idem. Padahal dilihat dari obyek perkara antara putusan Pengadilan Militer dengan Kejahatan HAM berat jelas berlainan.

NNC
Bacaan 2 Menit
Menilik Alasan <i>Ne Bis In Idem</i> Perkara  TSS
Hukumonline

 

Kepada hukumonline, Prof Komariah Emong Sapardjaja—mantan hakim pengadilan HAM ad hoc yang kini menjadi hakim agung—juga pernah menyatakan hal serupa. Untuk kasus yang pernah diadili di peradilan militer, logikanya sama dengan seseorang yang terjerat perkara pidana lalu diperkarakan lagi dalam perkara perdata menyangkut peristiwa yang sama. Meski orangnya sama, ujarnya kala itu, di situ menyangkut pada wilayah hukum yang berbeda.

 

Komisioner bidang pemantauan Johny Nelson Simanjuntak, Minggu (6/4), tidak begitu yakin apakah pelakunya orang yang sama atau bukan. Bisa jadi sebagian ada yang sama tapi mungkin juga ada yang lain. Tapi ini baru asumsi, ujarnya. Komnas, kata Johny sedang fokus pada peristiwa dugaan pelanggaran HAM berat lain, seperti kasus Talangsari dan Lapindo. Komnas menganggap keempat berkas itu tidak perlu dikaji lagi dan sudah beres di Kejaksaan. Maklum, keempat berkas itu adalah hasil kerja komisioner Komnas HAM periode kepemimpinan Abdul Hakim Garuda Nusantara—masa sebelum Johny dan kawan-kawan menjabat.

 

Toh, kalaupun pelaku orang yang sama,  kata Rudi, ‘aparat yang dihukum itu kan dikenai perkara biasa, sementara dari Komnas HAM itu pasti didasarkan dugaan kuat terjadinya pelanggaran HAM berat'.  

 

Pengadilan Militer untuk kasus Trisakti yang digelar pada 1998 menjatuhkan putusan terhadap 6 perwira pertama Polri. Tahun 2002, Pengadilan Militer kembali menjatuhkan hukuman kepada 9 orang anggota Gegana/Resimen II Korps Brimob Polri. Tahun 2003 Pengadilan Militer menggelar lagi persidangan bagi pelaku penembakan pada peristiwa Semanggi II yang belum jelas hasilnya.

 

Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS), Usman Hamid mengatakan, Pengadilan Militer selama ini hanya memperkarakan para  pelaksana lapangan. Sementara pelaksana lapangan tersebut kuat dugaan memiliki garis komando dari atas yang mengarah pada unsur sistematis. Pengusutan garis komando itulah –yang menurut Usman—selama ini jadi bidikan Komnas untuk membuktikan unsur sistematis yang merupakan salah satu unsur dari Kejahatan HAM berat. 

 

Unsur sistematis itu antara lain, penembakan terhadap para aktivis dilakukan atas perintah atasan, bukan inisiatif prajurit dilapangan. Jadi yang bertanggung jawab bukan prajurit, tetapi panglima ABRI ketika itu, ujar Usman. Jika penyelesaian lewat pengadilan militer dipandang cukup, justru   prajurit lapangan bisa dikatakan jadi tumbal alias korban baru, sementara komandan pemberi perintah malah bebas dari tanggung jawab.

 

Ne bis in idem. Itulah sebagian dari alasan Kejaksaan Agung mengembalikan empat berkas hasil penyelidikan pelanggaran HAM berat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Pada  1 April lalu,  Perkara Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II yang kerap disingkat Tragedi TSS dikembalikan Kejaksaan Agung dengan alasan para pelaku telah diadili dan diputus oleh Mahkamah Militer.

 

Putusannya telah berkekuatan hukum, pelaku juga telah menjalani pidana penjara dan dipecat dari dinas, ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenku) Kejaksaan Agung Bonaventura D Nainggolan, akhir pekan lalu. Kalau tetap disidangkan, pokok perkaranya kan sama. Itu kan ne bis in idem. Kecuali obyek yang disidangkan itu berbeda.

 

Meski pengembalian berkas  bergulir laiknya drama 'April Mob', sejumlah alasan pengembalian itu justru memunculkan kesan bahwa Kejaksaan setengah hati memproses perkara itu. Alasan pengembalian berkas peristiwa penghilangan orang secara paksa pada kerusuhan Mei 1998, misalnya.  Kejaksaan masih saja berdalih pengadilan HAM ad hoc harus dibentuk terlebih dulu sebelum jaksa melalukan penyidikan.

 

Padahal, menunggu dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc sama mustahilnya dengan DPR memutus pembentukan pengadilan HAM ad hoc sebelum ditemukan fakta hasil penyidikan Kejaksaan. Walhasil, pengembalian empat berkas tersebut sama saja melestarikan 'pengadilan ayam telor' yang selama ini menjadi persoalan akut.

 

Alasan ne bis in idem untuk perkara TSS, menurut dosen hukum pidana internasional Universitas Padjajaran Rudi M. Rizky tidak lantas semudah itu bisa disimpulkan oleh Kejaksaan. Ia mengatakan, meski pernah ada aparat yang sudah pernah diadili, Kejaksaan semestinya melihat apakah dugaan kejahatan temuan Komnas sama persis dengan kejahatan yang dilakukan para pelaku yang telah diputus dan menjalani hukuman.

Tags: