Upaya MA Dorong Penyelesaian Sengketa Secara Damai dan Pelibatan Paralegal
Terbaru

Upaya MA Dorong Penyelesaian Sengketa Secara Damai dan Pelibatan Paralegal

Beberapa diantaranya dengan menerbitkan Perma tentang Mediasi, Perma tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.

Ferinda K Fachri
Bacaan 2 Menit
Ketua MA Prof. M. Syarifuddin saat ajang Paralegal Justice Award, Kamis (1/6/2023). Foto: Humas MA
Ketua MA Prof. M. Syarifuddin saat ajang Paralegal Justice Award, Kamis (1/6/2023). Foto: Humas MA

Beberapa tahun terakhir ini, Mahkamah Agung (MA) RI telah mencetak sejumlah regulasi berupa Peraturan MA (Perma) sebagai upaya mendorong penyelesaian sengketa secara damai dan pelibatan paralegal untuk pendampingan pada proses persidangan.

Beberapa diantaranya Perma No.1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dan Perma No.3 Tahun 2022 tentang Mediasi di Pengadilan Secara Elektronik. Kemudian terdapat pula Perma No.3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.

“Di beberapa daerah juga terdapat lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang fungsinya hampir sama dengan peran hakim perdamaian desa yaitu Lembaga Kerapatan Adat Nagari di wilayah Sumatra Barat dan Lembaga Bale Mediasi di wilayah Nusa Tenggara Barat,” ujar Ketua MA, Prof. M. Syarifuddin saat ajang Paralegal Justice Award sebagaimana dikutip dari laman resmi MA, Kamis (1/6/2023) lalu.

Berkenaan Perma terkait Mediasi, dijelaskan Syarifuddin menjadi regulasi yang diluncurkan dengan maksud para pihak dapat menyelesaikan sengketanya secara damai dengan bantuan seorang mediator. “Hal tersebut merupakan implementasi dari ketentuan Pasal 130 HIR/154 RBg yang menyebutkan bahwa hakim wajib mendamaikan para pihak terlebih dahulu sebelum perkaranya disidangkan.”

Sedangkan untuk Perma No.3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, sambung Syarifuddin, mengatur perihal fungsi kalangan paralegal guna memberi pendampingan terhadap perempuan yang sedang menjalani proses hukum di pengadilan.

Guru Besar Tidak Tetap Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (FH Undip) itu juga menyampaikan adanya kesamaan fungsi atas peranan kepala desa/lurah dalam menyelesaikan konflik di masyarakat dengan mediator. Sebab, posisi yang dimiliki sebagai pihak ketiga yang membantu mendamaikan para pihak bersengketa.

“Melalui pemberdayaan kepala desa atau lurah sebagai Non Litigator Peacemaker (pada Paralegal Academy) ini, diharapkan peran-peran juru damai di lingkungan masyarakat bisa lebih efektif dan berskala nasional, sehingga dapat menyaring permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat agar tidak seluruhnya menjadi perkara di pengadilan,” ungkapnya.

Turut hadir Menteri Hukum, dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Prof. Yasonna H. Laoly yang memiliki pandangan serupa. Keberadaan Kepala Desa/Lurah menjadi penting sebagai garda terdepan dalam menyelesaikan perkara secara Non Litigasi atau diluar jalur pengadilan.

Lebih lanjut, menurut Prof. Yasonna, Kepala Desa/Lurah rata-rata merupakan ketua adat, bahkan tokoh agama atau tokoh masyarakat yang aktif dan berhasil dalam setiap penyelesaian sengketa antar warga atau dianggap sebagai “Hakim Perdamaian” di kalangan warga desa.

Tags:

Berita Terkait