Sudah Saatnya Indonesia Berbenah Soal Hukuman Mati
Berita

Sudah Saatnya Indonesia Berbenah Soal Hukuman Mati

Banyaknya korban eksekusi mati yang salah sasaran merupakan pukulan telak bagi pemerintah untuk segera melakukan koreksi dan evaluasi atas sistem peradilan sesuai prinsip fair trial.

CR-25
Bacaan 2 Menit

 

“Kami menemukan unfair trial untuk hukuman mati ini sangat banyak terjadi. Saat inilah waktu yang tepat bagi pemerintah untuk membentuk tim khusus untuk melakukan koreksi dan evaluasi apakah para terpidana mati sudah diputus secara adil atau bukan,” jelas Ardimanto.

 

(Baca Juga: Tragis, Sudah Dihukum Mati Ternyata Terbukti Tak Bersalah)

 

Contoh lain diutarakan Kepala Divisi Pembelaan HAM Kontras, Arif Nur Fikri dalam kasus Yusman. Arif mengaku saat membaca salinan putusan MA sangat tampak proses yang sangat buruk dari penyidikan dan kejaksaan bahkan pengacara Yusman yang akhirnya menyarankan ia dihukum mati. Parahnya, lanjut Arif, majelis hakim justru membebankan kepada Yusman untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah.

 

Selain itu, terbukti dalam pertimbangan putusan PK bahwa majelis mempertimbangkan ada kekeliruan yang dilakukan oleh Pengadilan Gunung Sitoli. Dalam pertimbangan PK diungkapkan bahwa ada daya paksa terhadap Yusman saat melakukan kejahatan. Arif juga sangat menyayangkan bahwa orang-orang yang pada akhirnya terbukti tidak bersalah tidak pula dilakukan pemulihan oleh pemerintah atas kerugian materiil maupun Immateriil yang mereka rasakan selama vonis mati tersebut.

 

Di samping itu, Pemaksaan terhadap tersangka untuk mengaku seringkali dilakukan aparat penegak hukum dengan cara-cara kekerasan dan penyiksaan. Dalam pengamatan Ardimanto, bahkan dokumen kepolisian tidak berani memuat foto Zulfikar Ali untuk persidangan, karena masih ada lebam dan banyak bekas luka di tubuhnya. Lagi-lagi, kata Ardimanto, ini merupakan akibat dari pemaksaan pengakuan yang berdasarkan stereotipe keliru para penegak hukum.

 

Direktur Eksekutif Migrant care, Wahyu Susilo tidak membantah jika korban human trafficking seringkali menjadi korban eksekusi mati tidak hanya di Indonesia. Beruntung dalam kasus Wilfrida, TKI asal Indonesia yang pernah mendapatkan vonis mati di Malaysia namun dapat terbebas dari ancaman hukuman mati tersebut karena terbukti merupakan korban human trafficking dari sindikat perdagangan manusia.

 

Wilfrida saat diberangkatkan menuju Malaysia ternyata masih di bawah umur, kata Wahyu, namun tetap berhasil diberangkatkan sindikat tersebut karena identitasnya dipalsukan. Bahkan saat Wilfrida divonis mati ia tidak mendapatkan haknya untuk didampingi penerjemah.

 

“Beruntungnya kita dapat membuktikan bahwa dia merupakan korban human trafficking melalui surat baptisnya. Mungkin dokumen-dokumen resmi negara seperti passport dan lainnya bisa dipalsukan, tapi surat baptis tidak bisa dipalsukan,” jelas Wahyu.

 

Tags:

Berita Terkait