Revisi UU Anti Terorisme Telah Disetujui DPR, Ini 6 Pasal yang Berpotensi Masalah
Berita

Revisi UU Anti Terorisme Telah Disetujui DPR, Ini 6 Pasal yang Berpotensi Masalah

Revisi UU Anti Terorisme terus didorong penyelesaiannya saat timbul ultimatum dari Presiden Joko Widodo yang ingin mengeluarkan Perppu apabila revisi tersebut tak kunjung selesai.

M-27
Bacaan 2 Menit

 

Ketiga, potensi masalah ada pada ketentuan mengenai penyadapan yang diatur Pasal 31 dan Pasal 31A. Pasal 31 menyatakan, setelah penyidik mengantongi bukti permulaan, penyidik dapat melakukan penyadapan terhadap terduga teroris.

 

(Baca Juga: Melirik Kompensasi, Bantuan Medis dan Rehabilitasi Korban dalam UU Anti Terorisme)

 

Menurut Erwin, yang membedakan pasal ini dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan sebelumnya terdapat pada Pasal 31 ayat (2), di mana tindakan penyadapan ini dapat dilakukan oleh penyidik ketika penyidik mendapatkan izin dari ketua pengadilan melalui ketetapannya yang dalam peraturan sebelumnya ini tidak diatur dan dapat menyebabkan kesewenangan penyidik dalam melakukan penyadapan.

 

Menurut Andri, justru yang dapat menjadi potensi masalah dari pasal penyadapan ini adalah tidak diaturnya jangka waktu penyadapan. Apabila penyadapan tidak memiliki batas waktu akan merugikan terduga teroris karena melanggar privasi dan Hak Asasi Manusia.

 

“Penyadapan tersebut ada batas waktunya, jadi kalau masa penyadapannya habis ia harus mengajukan lagi, cuma ini klausula yang pengaturannya tidak diatur dalam revisi undang-undang ini, jadi kalau kita telusur dapat diambil kesimpulan bahwa penegak hukum tidak bisa semena-mena melakukan penyadapan sebelum mendapat izin dari ketua PN. Ini yang menjadi perjuangan juga dari dpr untuk adanya check and balances dalam hal penyadapan,” kata Andri.

 

Erwin menambahkan soal ketentuan mengenai penyadapan yang tertuang didalam Revisi UU Anti Terorisme tersebut. “Dalam masalah penyadapan terlebih dalam pasal 31A yang menyantumkan adanya keadaan yang mendesak, saya pikir seharusnya diperjelas lagi dalam penjelasannya atau penggunaan frasanya, karena tidak faham definisi mendesak yang seperti apa dan dalam kondisi bagaimana hal tersebut dikatakan mendesak ? Sehingga saya rasa itu harus diuji lagi konstitusionalnya,” ujar Erwin.

 

Keempat, potensi masalah ada di Pasal 12A dan Pasal 12B mengenai setiap orang atau kelompok yang merekrut, menggrerakan, merencanakan atau mengorganisasikan baik menjadi anggota, pemimpin, pengurus, pendiri, atau orang yang mengendalikan suatu kegiatan yang sengaja maupun tidak sengaja untuk sebuah tindak pidana terorisme dapat dijerat hukum dengan undang-undang ini.

 

Menurut Erwin, hal ini berpotensi menimbulkan masalah ketika ada orang yang terafiliasi dengan anggota yang temasuk dalam organisasi tersebut. “Nantinya juga dapat di jerat dengan undang-undang ini, sehingga melanggar hak konstitusional,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait