Pemerintah Diminta Stop Bakar Hutan Dengan Dalih Biomassa
Terbaru

Pemerintah Diminta Stop Bakar Hutan Dengan Dalih Biomassa

Sudah saatnya negara belajar dan menyusun kebijakan yang menjamin keselamatan rakyat dan lingkungan berbasis hak serta pemulihan.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi.  Foto: RES
Ilustrasi. Foto: RES

Pemerintah mendorong penggunaan biomassa kayu sebagai solusi transisi energi dan pemotongan emisi karbon. Biomassa kayu dipandang netral karbon dengan asumsi karbon yang lepas dari pembakaran akan diserap kembali oleh pohon baru. Asumsi tersebut dibantah keras masyarakat sipil karena menilai ekspansi perkebunan kayu atau Hutan Tanaman Energi (HTE) secara masif yang akan digunakan memenuhi kebutuhan kayu justru menimbulkan deforestasi. Sekaligus memunculkan emisi berlebih serta konflik lahan dan kebakaran hutan.

Manajer Program Bioenergi Trend Asia, Amalya Reza, mengatakan pandangan bahwa biomassa kayu ‘netral karbon’ bergantung pada asumsi karbon yang dihasilkan dari pembakaran akan ditangkap kembali perkebunan kayu. Namun dalam skala masif, kecepatan emisi pembakaran tidak akan terserap oleh tumbuhnya pohon baru, yang akhirnya tetap ditebang.

Amalya menjelaskan implementasi co-firing di 41 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang dianggap aksi heroik pemerintah terkait transisi energi sebenarnya hanya narasi greenwashing yang merupakan kebohongan publik. Dan dalam momen tahun politik, narasi greenwashing menjadi justifikasi untuk pemberian izin-izin baru Hutan Tanaman Energi. Implikasinya tidak berhenti pada deforestasi, tapi perampasan lahan, eskalasi bencana hidrologis dan memperuncing konflik penguasaan lahan.

“Pemerintah sedang tidak melakukan apa-apa terkait transisi energi, kecuali memperburuk,” kata Amalya dalam keterangan tertulis, Rabu (25/10/2023) kemarin.

Baca juga:

Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian menambahkan, pembangkitan listrik menggunakan campuran batu bara dan kayu (co-firing biomassa) sebagai dalih transisi energi bersih adalah bentuk perdagangan krisis. Di mana, sama sekali tidak menjawab persoalan krisis iklim dan ketidakadilan energi yang terjadi.

“Sudah saatnya negara belajar dan menyusun kebijakan yang menjamin keselamatan rakyat dan lingkungan berbasis hak serta pemulihan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait