​​​​​​​Kenali Bentuk Perkawinan yang Dilarang Hukum di Indonesia
Hukum Perkawinan Kontemporer

​​​​​​​Kenali Bentuk Perkawinan yang Dilarang Hukum di Indonesia

​​​​​​​Seorang pria yang memiliki ikatan perkawinan, tidak dapat melakukan perkawinan lagi kecuali oleh pengadilan diberikan izin kepadanya untuk memiliki istri lebih dari satu.

M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Dalam tradisi keilmuan klasik Islam, terdapat beberapa ulama yang menaruh perhatian dan merumuskan konsep maqosid al syari’ah. Yang paling terkenal misalnya Ibnu Taimiyah. Namun jauh sebelum Ibnu Taimiyah, lebih dahulu al-Syatibi sebagai pengembang dasar teori ini. Sebelum al-Syatibi, ada Abu Abdillah Muhammad bid Ali. pada tahun 478 H, Imam al-Haramain, dan sepeninggalnya ada Izzudin bin Abd as-Salam, pengarang kitab qawaidu al-ahkam fi masalihal-anam. Dalam kitab ini ia menegaskan bahwa maqashid alsyari'ah bermuara pada pencapaian kemaslahatan dan menolak mafasid.

 

Dalam maqasid al syari’ah terdapat lima hal yang dipandang sebagai tujuan dari diturunkannya syariat. Lima hal tersebut adalah dalam rangka memelihara agama; memelihara diri; menjaga eksistensi akal; memelihara keturunan; dan menjaga harta benda. Kompilasi Hukum Islam tidak membenarkan pernikahan poliandri karena untuk menjaga salah satu dari kelima hal yang menjadi tujuan dari syariat dimaksud, yakni demi memelihara keturunan.

 

Hal senada disampaikan oleh pengajar Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Neng Djubaedah. Poliandri menurut beliau tidak sesuai dengan ketentuan syariat. “Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah sudah jelas itu dilarang. Coba Anda bayangkan satu Rahim menampung beberapa sperma (dari pria yang berbeda)?” kata Neng Djubaedah dengan nada bertanya saat dihubungi hukumonline.

 

Sebagaimana tujuan perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam, Pasal 3, perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Dimensi rahmah dalam tujuan perkawinan sebagimana dalam Kompilasi Hukum Islam adalah anak atau keturunan. Jenis perkawinan poliandri akan mengaburkan garis keturunan ayah kepada anak dalam rumah tangga. “Siapa ayahnya? Yang punya benih ini milik siapa lalu siapa nasabnya? Kan begitu,” ujar Neng Djubaedah. Hal ini yang menjadi penyebab dilarangnya seorang wanita melangsungkan perkawinan dengan pria lain saat masih terikat hubungan perkawinan dengan suaminya (Pasal 40 huruf (a) KHI).

 

Baca:

 

Iddah dan Larangan Menikah Beda Agama

Larangan pernikahan yang lain adalah menikahi seorang wanita yang masih dalam masa iddah dengan mantan suaminya. Masa iddah dalam Islam dimaknai sebagai masa perhitungan atau masa menunggu. Masa ini berakhir setelah perempuan melewati tiga kali suci dari periode menstruasi, atau kurang lebih tiga bulan sepuluh hari lamanya. “Untuk perempuan yang ditinggal mati empat bulan sepuluh hari. Sedang perempuan yang dicerai saat sedang hamil maka masa iddah nya sampai ia melahirkan,” terang Neng Djubaedah.

 

Larangan perempuan menikah lagi selama masa iddah berlangsung bukan tanpa alasan. Kembali kepada tujuan dari syariat yakni memelihara keturunan. Selain itu, hikmah dari diberlakukannya masa iddah adalah “di situ ada alasan psikologis. Karena pada prinsipnya perceraian itu dilarang tetapi karena alasannya sehingga diperbolehkan. Diperbolehkan dengan alasan tertentu,” tambahnya.

 

(Baca juga: Menunggu Solusi Konstitusi atas Problematika Perkawinan Beda Agama)

 

Selain itu, hikmah lain masa iddah adalah untuk memastikan apakah perempuan yang dicerai tersebut sedang dalam kondisi kehamilan atau tidak. selain itu, hal ini kembali bertujuan untuk menghindari ketidakjelasan garis keturunan yang bakal muncul jika seorang perempuan dipaksa menikah sebelum melewati masa ini. Konsekuensi hukum yang lain adalah untuk menjamin hak janin berupa nafkah dari ayahnya apabila wanita yang dicerai sedang hamil.

Tags:

Berita Terkait