Duplikasi Pengaturan Delik Tipikor dalam RKUHP Potensi Transaksional
Berita

Duplikasi Pengaturan Delik Tipikor dalam RKUHP Potensi Transaksional

Duplikasi pengaturan delik tipikor dalam RKUHP membuka peluang bargaining (tawar-menawar) antara aparat penegak hukum terhadap para tersangka dan atau terdakwa kasus korupsi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Baginya, ancaman pidana penjara yang jumlahnya sama antara penyalahgunaan wewenang dan hanya melawan hukum potensi bermasalah. Apalagi ditambah dengan ancaman pidana denda yang jumlahnya lebih berat, khususnya Pasal 687 ketimbang Pasal 688 RKUHP.

 

Ini telah menerabas logika dan asas pidana. Sebab, dalam hukum pidana, seharusnya delik jabatan, apalagi pejabat publik, seharusnya diperberat karena yang bersangkutan telah melanggar sumpah jabatan dan selama ini sudah menikmati fasilitas negara,” tuturnya.

 

Lebih lanjut, Edery berpendapat rekodifikasi dalam RKUHP arahnya tidak jelas. Sebab, beberapa kali tim perumus RKUHP mengutarakan yang bakal diatur dalam RKUHP adalah pidana inti (core crime) dari tindak pidana khusus. Masalah muncul lantaran ketentuan penutup dalam Pasal 732 RKUHP tidak ada pencabutan pasal-pasal di UU sektoral (khusus).  

 

“Dengan begitu dampaknya, pengaturan delik dalam RKUHP bakal bersamaan berlaku dengan UU sektor lain termasuk UU Pemberantasan Tipikor.

 

Menurutnya, dalam satu perkara kasus korupsi misalnya, bukan tidak mungkin duplikasi penggunaan dua UU dengan delik yang sama persis, tetapi ancaman hukumannya berbeda. Hal ini bisa menjadi bargaining (tawar-menawar) antara aparat penegak hukum dengan para tersangka/terdakwa korupsi. Sebab, aparat penegak hukum diberikan kebebasan menggunakan substansi pasal yang sama antara RKUHP atau UU Pemberantasan Tipikor.

 

“Kebebasan tersebut bila tidak dibatasi bakal berpotensi terjadinya jual beli pasal-pasal korupsi terhadap tersangka atau terdakwa kasus korupsi.”

 

Karenanya, pengaturan delik kroupsi dalam RKUHP dinilainya belum mendukung agenda pemberantasan korupsi secara maksimal. “Adanya RKUHP berpeluang menimbulkan pasal-pasal yang dapat diperjualbelikan atau ditransaksionalkan oleh aparat penegak hukum,” tegasnya.

 

Ditegaskan Edery, bila tidak ada ketegasan dari tim perumus maupun Panja DPR soal UU mana yang bakal digunakan dalam penindakan korupsi, hal ini bakal membuka ruang-ruang transaksional dalam penerapan Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tipikor atau Pasal 687 dan 688 RKUHP. “Ini harus dipastikan mana yang akan digunakan?" katanya.

Tags:

Berita Terkait