Desakan Mundur Ketua MK Dinilai Tak Etis dan Berlebihan
Berita

Desakan Mundur Ketua MK Dinilai Tak Etis dan Berlebihan

UU MK dan PMK No. 01 Tahun 2003 tidak mengatur rumusan pasal yang dapat membuat hakim konstitusi berhenti dari jabatannya atas dasar alasan desakan dari sekelompok orang. Karena itu, Arief diminta tetap menjalankan tugas konstitusionalnya.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

"Padahal dugaan adanya lobi-lobi politik terkait putusan hak angket KPK itu sudah dibuktikan kebenarannya bahwa Arief Hidayat hanya diberikan teguran ringan,” tuturnya.

 

Ia menjelaskan keputusan Dewan Etik berdasarkan dari 3 saksi diantaranya Arsul Sani dan Trimedya Panjaitan. Mereka menyatakan tidak ada lobi-lobi yang dilakukan Arief. Demikian pula pendapat Anggota Dewan Etik.

 

Dari tiga anggota Dewan Etik, dua orang anggota Dewan Etik Solahudin Wahid dan Bintan Saragih menilai tidak terdapat lobi-lobi. Namun, Solahudin memberikan teguran ringan. Sedangkan Bintan menyimpulkan tidak ada pelanggaran kode etik. Tetapi, yang lainnya menyimpulkan telah terjadi pelanggaran berat.

 

Menurutnya, tekanan mundurnya Arief Hidayat sebenarnya mengaburkan esensi permasalahan yang terjadi dan penting untuk dipikirkan secara bersama. "Jika kita hanya berputar-putar pada hal ini, berarti kita hanya mampu menilai secara berlebihan sesuatu yang paling dekat dengan diri kita, kita tak mampu melihat hal-hal yang penting, tidak mampu melihat jauh ke depan."

 

“Karena itu, kita memberi dukungan agar Arief Hidayat tetap menjalankan tugas-tugas konstitusionalnya sesuai peraturan perundang-undangan,” katanya. (Baca juga: Akademisi: Arief Hidayat Mundurlah untuk Lebih Arif)

 

Ilham pun menyarankan rekrutmen jabatan hakim konstitusi belum memiliki standar operasional yang baku dari masing-masing lembaga pengusulnya yang bersifat transparan dan akuntanbel. Ia berharap ke depan perlu ada perubahan rekrutmen jabatan hakim konstitusi sesuai standardisasi dan kriteria yang jelas terhadap calon hakim konstitusi dari masing lembaga pengusul.

 

Ia pun mengusulkan agar dihapus aturan periodeisasi hakim konstitusi (per lima tahun dalam dua periode) diubah dengan masa jabatan hakim konstitusi hanya satu periode untuk masa jabatan 9 atau 10 tahun. Selain itu, DPR, Presiden, maupun Mahkamah Agung sebagai lembaga pengusul perlu menyusun sistem rekrutmen hakim MK yang lebih transparan dan akuntabel.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait