Ada Penurunan dalam Indeks Negara Hukum Indonesia 2016
Berita

Ada Penurunan dalam Indeks Negara Hukum Indonesia 2016

Sistem mutasi hakim mendapat sorotan.

CR-24
Bacaan 2 Menit
Launching INHI 2016 di Jakarta oleh ILR. Foto: ADJI
Launching INHI 2016 di Jakarta oleh ILR. Foto: ADJI
Indonesian Legal Roundtable merilis Indeks Negara Hukum Indonesia (INHI) untuk tahun 2016 dengan metodelogi survei ahli dan penilaian dokumen resmi oleh negara di 20 provinsi di Indonesia. Ini adalah untuk kelima kalinya ILR meluncurkan hasil serupa setelah pada peluncuran pertama yang diadakan pada 2012 lalu.

Dalam prosesnya, peluncuran INHI melibatkan 120 ahli dengan 5 prinsip dan 18 indikator.  Dan secara keseluruhan, ada penurunan tahun ini jika dibanding 2015 lalu meskipun hanya 0,01 poin. Dengan demikian dari hasil INHI 2016, pemerintah dianggap tidak melakukan kinerja yang signifikan dalam pemajuan prinsip negara hukum.

(Baca juga: 3 Catatan Jokowi untuk Tingkatkan Indeks Persepsi Korupsi).

Meskipun begitu,  ILR menganggap hasil kerja pemerintah sebenarnya tidak terlalu buruk karena ada peningkatan di beberapa elemen substansif negara hukum seperti ketaatan pemerintah, perlindungan dan penghormatan terhadap HAM yang meningkat dari tahun sebelumnya. Sedangkan elemen penting yang menurun adalah kekuasaan kehakiman yang merdeka.
No. Prinsip Skor Nilai Indeks 2016 Nilai Indeks 2015 Keterangan
1 Ketaatan Pemerintah Terhadap Hukum

-Perbuatan/Tindakan Pemerintah Berdasarkan Hukum
-Pengawasan yang efektif
5,62



6,03



5,23
1,41 1,35 Naik
2 Legalitas Formal

-Penyebarluasan peraturan
-Kejelasan rumusan peraturan
-Stabilitas peraturan
5,77


5,87

5,37

6,08
0,58 0,65 Turun
3 Independensi Kekuasaan Hakim

-Dalam mengadili dan memutus perkara
-Manajemen dan sumber daya
-Kebijakan kelembagaan
-Terhadap pengaruh publik dan media massa
5,74


5,32


5,80

6,37

5,08
1,44 1,48 Turun
4 Akses Terhadap Keadilan

-Keterbukaan informasi
-Peradilan cepat dan terjangkau
-ketersediaan bantuan hukum
5,5


4,43

6,33

5,74
0,82 0,89 Turun
5 Hak Asasi Manusia

-Hak atas hidup
-Hak untuk bebas dari penyiksaan
-Hak untuk tidak diperbudak
-Hak untuk tidak dipenjara berdasarkan kewajiban kontraktual
-Hak tidak dihukum atas tindakan yang bukan kejahatan
-Hak atas kebebasan untuk berpikir,  beragama dan berkeyakinan
4,25


3,70

3,77

4,26

4,94



4,87


3,96
1,06 0,95 Naik
Total5,315,32

Untuk tingkat provinsi, secara keseluruhan Kalimantan Selatan menduduki peringkat pertama indeks ketaatan hukum dengan nilai 6,52. Lalu di bawahnya ada Jawa Timur,  Kalimantan Timur,  Maluku dan Riau. DKI Jakarta,  sebagai ibukota hanya menduduki peringkat 15, di atas Nusa Tenggara Timur,  Sulawesi Selatan,  Sulawesi Utara,  Jawa Barat dan Papua sebagai provinsi terbuncit.

(Baca juga: Dua Tahun Jokowi-JK Hukum Terabaikan).

Tetapi untuk aspek prinsip legalitas formal,  Sumatera Barat, Bali,  Riau menduduki peringkat tiga teratas. "Karena Sumbar,  Bali, Riau dikenal dengan provinsi literasi intelektual cukup baik. Sumbar ladang intelektual di Indonesia.  Bali sangat terbuka,  dimungkinkan penyebaran akses," kata Direktur Eksekutif ILR,  Todung Mulya Lubis memberikan alasan, Selasa (05/9), di Hotel Akmani, Jakarta Pusat.

Intervensi
Sementara itu mengenai indeks kekuasaan kehakiman secara independen juga semakin menurun 0,4 poin dari tahun 2015. Padahal dari hasil pendapat para ahli, banyak diantara mereka yang menginginkan tidak ada intervensi dalam pengambilan keputusan agar sesuai dengan asas keadilan dan independen. Namun kenyataan yang terjadi malah sebaliknya.

Todung mengatakan, menurunnya tingkat kebebasan hakim bukan disebabkan oleh pendapatan. "Gaji hakim cukup layak, mungkin faktor utama bukan remunerasi. Lulusan sarjana hukum,  jadi calon hakim,  gaji sama kayak di lawfirm. Persoalan bukan remunerasi tapi ada yang salah.  Pendidikan hukum gagal dalam membuat kebanggaan," terang advokat senior ini.

Lulusan terbaik fakultas hukum saat ini,  kata Todung,  tidak lagi berminat untuk menjadi hakim ataupun jaksa,  tetapi lebih memilih profesi advokat. Namun yang menjadi perhatian,  apakah nantinya mereka bisa menjalani profesi tersebut secara terhormat atau malah bertentangan dengan aturan hukum maupun kode etik seperti memperdagangkan perkara.

"Kalau diluar negeri lulusan terbaik jadi hakim.  Ini persoalan yang dihadapi.  Kalau pendidikan hukum dwifungsional dia tidak akan berhasil.  Kalau lihat hakim rawan di intervensi karena kebanggan kalah dengan materialisme," pungkasnya.

(Baca juga: Indeks Negara Hukum Meningkat, Tapi Ada yang Nilainya Turun).

Wakil Ketua Komisi Yudisial Sukma Violetta yang hadir dalam acara ini juga menyoroti tentang hakim. Menurut Sukma, kebebasan hakim yang masih minim adalah masalah individu, bukan kelembagaan. Meskipun begitu,  Sukma mengakui jika mayoritas hakim masih bisa diintervensi.

"Yang ditemukan KY dalam diatribusi perkara masih ada faktor like and dislike. Ada arahan hakim ketua majelis kepada anggotanya untuk menimalisir dissenting. UU kekuasaan kehakiman dimungkinkan dissenting ketua dan majelis,  dan disambut positif oleh hakim muda. Pola hubungan senioritas yang sifatnya struktural diantara hakim juga mempengaruhi dalam pengambilan keputusan," ujar Sukma.

Mantan advokat LBH Jakarta dan YLBHI ini juga menyoroti masalah promosi dan mutasi hakim yang dinilai masih rawan praktik KKN. Bahkan ia dapat informasi ada istilah "sistem obat nyamuk" dalam mutasi hakim.  Sistem tersebut berarti adanya hakim yang dimutasi hanya sekitar pulau Jawa saja dan hanya sesekali ke Sumatera karena adanya kedekatan dengan oknum tertentu.

Tetapi jika hakim tidak memiliki kedekatan, maka ia akan dimutasi ke daerah yang jauh semisal Indonesia bagian Timur. "Promosi hakim masih identik KKN. Mutasi hakim bisa capture ada beberapa pola mutasi bagi hakim yang dekat dengan pihak.  Sistem obat nyamuk,  beredar di pulau Jawa,  Sumatera sebentar, balik lagi ke Jawa,” ujarnya. 
Tags:

Berita Terkait