Apakah diperbolehkan memakai alat khusus yang gunanya untuk merekam perbincangan-perbincangan dengan siapapun secara diam-diam misalnya menggunakan spy pen cam yaitu alat perekam video dan suara berbentuk pena?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Secara umum, tindakan perekaman atau pengambilan gambar secara diam-diam misalnya dilakukan pada ruang publik adalah diperbolehkan, sebab tidak ada larangan sama sekali. Namun, menurut hukum terdapat batasan-batasan tertentu jika ditinjau berdasarkan UU Hak Cipta dan UU ITE. Apakah itu?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Hukum Merekam Menggunakan Kamera Tersembunyi (Hidden Camera) yang dibuat oleh olehTeguh Arifiyadi, S.H., M.H.dan pertama kali dipublikasikan pada 28 Mei 2013.
Â
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Sebelum menjawab inti pertanyaan Anda, patut Anda ketahui berdasarkan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, setiap orang berhak atas harta benda yang dimilikinya. Dalam hal ini termasuk alat yang digunakan untuk mengambil gambar.
Namun pembatasan muncul ketika pengambilan gambar tersebut dilakukan dengan melanggar hak seseorang atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasannya serta apabila melanggar hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan.
Â
Dari Perspektif Hak Cipta
Misalnya dari gambar seseorang yang telah diambil dan kemudian diperjualkan, sebenarnya terdapat hak ekonomi orang yang menjadi objek dalam gambar tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 12 ayat (1)UU Hak Cipta:
Setiap Orang dilarang melakukan Penggunaan Secara Komersial, Penggandaan, Pengumuman, Pendistribusian, dan/atau Komunikasi atas Potret yang dibuatnya guna kepentingan reklame atau periklanan secara komersial tanpa persetujuan tertulis dari orang yang dipotret atau ahli warisnya.
Oleh karena itu, pengambilan gambar baik menggunakan alat penyadapan atau tidak, secara umum harus mendapatkan persetujuan dari orang yang menjadi objek dalam gambar tersebut.
Selain itu, menurut hemat kami, perihal pengambilan gambar atau video secara diam-diam maupun secara langsung diatur dalam UU ITE dan perubahannya. Kami asumsikan perbuatan merekam secara diam-diam tersebut menggunakan alat penyadapan. Hal ini telah diatur dalam Pasal 31 UU 19/2016.
Adapun yang dimaksud dengan intersepsi atau penyadapan adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.[1]
Pelanggaran atas intersepsi atau penyadapan ini adalah dipidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp800 juta.[2]
Akan tetapi, terdapat pengecualian terhadap penggunaan alat penyadapan oleh Kepolisian, Kejaksaan atau Institusi lain sepanjang itu dilakukan dalam rangka penegakan hukum. Hal ini secara tegas disebutkan dalam Pasal 31 ayat (3) UU 19/2016.
Guna mempermudah pemahaman Anda, kami berikan beberapa dasar hukum institusi apa saja yang dapat melakukan penyadapan, antara lain:
Badan Intelijen Negara (Pasal 31 dan 32 UU 17/2011)
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengambilan gambar melalui alat penyadapan dapat dilakukan oleh lembaga negara yang diberikan kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.
Namun apabila pengambilan atau perekaman gambar secara diam-diam dilakukan oleh pihak lain selain instansi yang diberikan kewenangan, perlu diperhatikan kembali batasannya. Sepanjang tidak melanggar ketentuan penyadapan dan peraturan lainnya, maka dapat saja diperbolehkan. Lain halnya, jika dilakukan secara melawan hukum, ini dapat merupakan suatu perbuatan illegal interception dan berpotensi dijerat pidana.