Selamat malam, mohon pencerahan. 1. Jika ada orang yang menulis berita di media internet atas peliputan suatu persidangan, apakah diperbolehkan tanpa seizin dari pihak-pihak yang terkait/pelaku atau keluarga pelaku? 2. Isi dari beritanya memojokkan orang dari salah satu anggota keluarga pelaku sedangkan orang tersebut sudah dinyatakan tidak bersalah baik dari sisi penyidikan maupun kesaksian persidangan, apakah benar diperbolehkan? 3. Dan ada pernyataan yang tidak benar yang dituliskan yang tidak sesuai dengan kenyataan dari kesaksian/pengakuan dari si pelaku. Langkah-langkah apa saja yang bisa dilakukan oleh keluarga pelaku berdasarkan hukum atas tindakan yang menulis di media internet tersebut oleh keluarga pelaku, oleh orang yang dipojokkan dan pemberitaan yang tidak benar? Terima Kasih
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Intisari
Sepanjang persidangan digelar secara terbuka untuk umum, tidak ada halangan bagi siapapun untuk memberitakannya. Pihak yang diliput bisa mengajukan hak jawab, koreksi atau ralat jika ada info yang tidak sesuai dengan fakta. Media harus melayani hak jawab tersebut.
Penjelasan selengkapnya silakan baca ulasan di bawah ini.
Ulasan
Anda tidak menjelaskan apakah orang yang menulis berita ini adalah memang bekerja sebagai wartawan atau pers, atau orang tersebut hanya orang biasa. Kami akan menjawab dalam hal orang tersebut adalah pers dan orang tersebut bukan pers.
1.Orang yang Menulis Berita adalah Pers
Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis uraian yang tersedia. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (“UU Pers”).
Pada dasarnya persidangan adalah terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 153 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Oleh karena itu, sah saja jika pers meliput suatu persidangan dan memberitakannya.
Liputan pers terkait persidangan juga merupakan salah satu fungsi pers, yaitu pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial (Pasal 3 ayat (1)UU Pers).
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Dalam menjalankan profesinya, pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat (1) UU Pers).Pers nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut (Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU Pers).
a.Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
b.Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
c.Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d.Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
Ini berarti bahwa pers dilarang untuk memberitakan hal-hal yang tidak sesuai dengan fakta yang ada di persidangan yang bertujuan untuk memojokkan seseorang.
Atas berita yang tidak sesuai dengan fakta tersebut, sebagaimana pernah kami uraikan dalam artikel Mekanisme Penyelesaian atas Pemberitaan Pers yang Merugikan, yang dapat dilakukan oleh orang yang merasa dirugikan adalah sebagai berikut:
a.Pertama dengan menggunakan pemenuhan secara sempurna pelayanan Hak Jawab dan Hak Koreksi. Hak ini dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang secara langsung kepada redaksi yang dalam hal ini mewakili perusahaan pers sebagai penanggungjawab bidang redaksi wajib melayaninya.
Orang atau sekelompok orang yang merasa dirugikan nama baiknya akibat pemberitaan itu harus memberikan data atau fakta yang dimaksudkan sebagai bukti bantahan atau sanggahan pemberitaan itu tidak benar.
Implementasi pelaksanaan Hak Jawab tersebut dapat dilihat pada Pasal 10 Kode Etik Jurnalistik, yang menyatakan bahwa “Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa”.
b.Selain itu, pelaksanaan Hak Jawab dan Hak Koreksi dapat dilakukan juga ke Dewan Pers (Pasal 15 ayat [2] huruf d UU Pers). Dikatakan bahwa salah satu fungsi Dewan Pers adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
c.Permasalahan akibat pemberitaan pers dapat juga diajukan gugatan perdata ke pengadilan atau dilaporkan kepada polisi. Namun demikian, karena mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers diatur secara khusus di UU Pers muaranya adalah pada pemenuhan Hak Jawab atau Hak Koreksi, maka pengadilan (dalam kasus perdata) maupun penyidik atau jaksa atau hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut tetap menggunakan UU Pers dengan muaranya adalah pemenuhan Hak Jawab dan atau Hak Koreksi.
Tanggapan dari pers atas Hak Jawab dan Hak Koreksi tersebut merupakan kewajiban koreksi sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 13 UU Pers. Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan. Kewajiban koreksi ini juga merupakan bentuk tanggung jawab pers atas berita yang dimuatnya.
Kode Etik Jurnalistik juga menyebutkan bahwa penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.
Pada sisi lain, pihak yang dirugikan oleh pemberitaan pers tetap punya hak untuk mengajukan masalahnya ke pengadilan, secara perdata atau pidana. Dalam perkara pidana menyangkut pers, hakim yang memeriksa perkara tersebut harus merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2008 tentang Meminta Keterangan Saksi Ahli ("SEMA 13/2008"). Sebagaimana ditulis dalam artikel Aparat Penegak Hukum Diminta Merujuk pada SEMA No. 13 Tahun 2008, berdasarkan SEMA 13/2008 dalam penanganan/pemeriksaan perkara-perkara yang terkait dengan delik pers, majelis hakim hendaknya mendengar/meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers, karena merekalah yang lebih mengetahui seluk beluk pers tersebut secara teori dan praktek.
Khusus untuk media online, Dewan Pers juga telah menerbitkan Pedoman Pemberitaan Media Siber (“Pedoman Media Siber”). Salah satu hal yang diatur adalah kewajiban untuk menautkan ralat, koreksi dan hak jawab pada berita yang diralat, dikoreksi dan diberi hak jawab. Sesuai UU Pers, media siber yang tidak melayani hak jawab akan dikenakan sanksi denda maksimal Rp500 juta.
2.Orang yang Menulis Berita Bukan Pers
Pada dasarnya tidak ada larangan bagi seseorang untuk menuliskan sesuatu tentang persidangan yang dilihatnya sepanjang persidangan itu dilakukan secara terbuka untuk umum.
“Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Pelanggaran atas pasal ini diancam dengan Pasal 45 ayat (1) UU ITE yakni pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Dalam UU ITE tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai pencemaran nama baik. Akan tetapi, sebagaimana pernah dijelaskan oleh Josua Sitompul, S.H., IMM dalam artikel Pencemaran Nama Baik di Media Sosial, Delik Biasa atau Aduan?, secara historis ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengacu pada ketentuan penghinaan atau pencemaran nama baik yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), oleh karena itu, penjelasan mengenai pencemaran nama baik dapat merujuk pada ketentuan dalam KUHP khususnya Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Dalam KUHP diatur dengan tegas bahwa penghinaan merupakan delik aduan. Jadi, jika seseorang merasa dirugikan oleh pemberitaan dalam media sosial yang tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya, orang tersebut dapat melakukan pengaduan kepada pihak yang berwenang (polisi).
Perlu diketahui juga, jika yang diberitakan adalah hal yang benar sesuai dengan apa yang ada dalam persidangan, maka sebagaimana dijelaskan dalam artikel Ancaman Pencemaran Nama Baik Mengintai, Prof. Muladi berpendapat bahwa tetap ada pembelaan bagi pihak yang dituduh melakukan pencemaran nama baik apabila menyampaikan suatu informasi ke publik. Pertama, penyampaian informasi itu ditujukan untuk kepentingan umum. Kedua, untuk membela diri. Ketiga, untuk mengungkapkan kebenaran.
Jadi jika yang diungkapkan adalah kebenaran, maka hal tersebut dapat dijadikan pembelaan bagi orang yang menuliskan berita tentang persidangan tersebut.