Bisakah KPK menetapkan seseorang menjadi tersangka di luar kasus pidana korupsi, seperti contohnya menetapkan tersangka dalam kasus pemberian keterangan palsu?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Jika kita lihat dari segi kewenangan, Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”) hanya melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
Itu artinya, jika berbicara mengenai penetapan tersangka yang dilakukan dalam proses penyidikan, KPK hanya melakukan penetapan tersangka dalam kasus korupsi.
Sedangkan, tindak pidana memberikan keterangan palsu sebagaimana yang Anda tanyakan dapat kita jumpai ketentuannya dalam Pasal 242 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Tindak pidana memberikan keterangan palsu ini penyelidikan dan penyidikannya dilakukan oleh pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang untuk melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Intisari:
Jika kita lihat dari segi kewenangan, Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”) hanya melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
Itu artinya, jika berbicara mengenai penetapan tersangka yang dilakukan dalam proses penyidikan, KPK hanya melakukan penetapan tersangka dalam kasus korupsi.
Sedangkan, tindak pidana memberikan keterangan palsu sebagaimana yang Anda tanyakan dapat kita jumpai ketentuannya dalam Pasal 242 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Tindak pidana memberikan keterangan palsu ini penyelidikan dan penyidikannya dilakukan oleh pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang untuk melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”) adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.[1] KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.[2]
Dalam putusannya bernomor 21/PUU-XII/2014 Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan” dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP sepanjang tidakdimaknai bahwa bukti permulaan adalah minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP.
Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP ialah:
keterangan saksi;
keterangan ahli;
surat;
petunjuk;
keterangan terdakwa.
Untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka haruslah didapati bukti permulaan yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti, sehingga harus ada proses terlebih dahulu dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
Penetapan Tersangka oleh KPK
Masih mengenai bukti permulaan, Pasal 44 UU 30/2002 berbunyi:
Jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut, penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik.
Dalam hal penyelidik melakukan tugasnya tidak menemukan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi menghentikan penyelidikan.
Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa perkara tersebut diteruskan, KomisiPemberantasan Korupsi melaksanakan penyidikan sendiriatau dapat melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan.
Dalam hal penyidikan dilimpahkan kepada kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepolisian atau kejaksaan wajib melaksanakan koordinasi dan melaporkan perkembangan penyidikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ketentuan ini diperkuat dalam Pasal 46 UU 30/2002 yang berbunyi:
Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini.
Pemeriksaan tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan tidak mengurangi hak-hak tersangka.
Jadi menjawab pertanyaan Anda, jika kita lihat dari segi kewenangan, KPK hanya melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
Sedangkan, pidana yang dapat dikenakan terhadap orang yang memberikan keterangan palsu sebagaimana diatur dalam Bab IX tentang Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu,Pasal 242 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(“KUHP”):
Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Tindak pidana memberikan keterangan palsu ini penyelidikan dan penyidikannya dilakukan oleh pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang untuk melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan.[4]