Menlu RI Sampaikan 3 Langkah Pastikan Teknologi Bukan Ancaman Demokrasi
Terbaru

Menlu RI Sampaikan 3 Langkah Pastikan Teknologi Bukan Ancaman Demokrasi

Antara lain mempromosikan tata kelola digital global yang demokratis; mengurangi kesenjangan digital di tingkat global; serta memastikan mitigasi risiko bersama.

Oleh:
Ferinda K Fachri
Bacaan 2 Menit
Menlu RI Retno Marsudi saat menyampaikan pandangannya dalam KTT Demokrasi ke-3 di Seoul, Korea Selatan beberapa waktu lalu. Foto: Humas Kemlu
Menlu RI Retno Marsudi saat menyampaikan pandangannya dalam KTT Demokrasi ke-3 di Seoul, Korea Selatan beberapa waktu lalu. Foto: Humas Kemlu

Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, demokrasi kian menghadapi banyak tantangan. Untuk itu, Menteri Luar Negeri RI (Menlu) Retno Marsudi dalam KTT Demokrasi ke-3 di Seoul, Korea Selatan menekankan pentingnya saling bahu membahu agar membuat demokrasi menjadi lebih baik dan membawa lebih banyak lagi manfaat bagi masyarakat.

“Mari kita wujudkan demokrasi yang bermanfaat bagi rakyat. Karena kepercayaan masyarakat selalu menjadi inti demokrasi. Kita semua mempunyai tanggung jawab untuk mencegah kegagalan demokrasi,” ungkap Retno dalam pidatonya seperti dikutip dari laman resmi Kementerian Luar Negeri RI, Senin (18/3/2024) lalu.

Dalam pandangannya, baik demokrasi maupun teknologi digital mempunyai sifat transformatif. Keduanya, mengubah cara sebuah negara mengambil keputusan penting terutama upaya meningkatkan inklusivitas. “Ketimbang menjadi ancaman terhadap demokrasi, Artifisial Intelligence (AI) seharusnya meningkatkan demokrasi dalam penerapan modernnya,” ujarnya.

Menurutnya, ada 3 langkah penting bisa dilakukan untuk memastikan tujuan tersebut. Pertama, mendorong tata kelola digital global yang demokratis. Hal ini dapat dicapai jika teknologi transformative, seperti AI harus dimanfaatkan oleh dan demi kepentingan banyak orang. Jalan menuju tata kelola digital global pun harus bebas, terbuka, aman, tidak terfragmentasi, dan inklusif.

“Indonesia dalam hal ini disampaikan telah memperkenalkan regulasi mengenai etika AI baik di tingkat nasional maupun di tingkat ASEAN.”

Kedua, menutup kesenjangan digital global. Meskipun teknologi seperti AI sepatutnya diperlakukan sebagai barang publik global, tidak ada satu hal yang bisa diterapkan untuk semua hal. Hak asasi manusia (HAM) saja harus ditegakkan dan negara juga harus bisa mendapatkan akses digital yang mudah, adil, dan merata.

“Suara negara-negara berkembang harus menjadi bagian penting dalam ansambel pembangunan digital global. Dan Indonesia secara aktif mengambil bagian dalam negosiasi Global Digital Compact dan jalan lain di PBB dan forum internasional (semaksimal mungkin),” tegas Retno.

Terakhir, ketiga yang sangat penting adalah memastikan manajemen risiko kolektif atau mitigasi risiko. “AI bisa menjadi pedang bermata dua. Saya kira pembicara sebelumnya juga sudah menyinggung hal ini. Meskipun AI adalah alat demokrasi, bisa digunakan sebagai alat demokrasi, AI juga bisa menjadi alat manipulasi dan disinformasi,” kata dia.

Oleh karena itu, ia meminta negara-negara lain untuk bersama bergandengan tangan dalam rangka memupuk literasi digital, inovasi melawan berita palsu yang dimanipulasi, dan penyalahgunaan AI termasuk melawan serangan siber. Ia mengingatkan hubungan antara demokrasi dan teknologi seharusnya menjadi kekuatan untuk kebaikan.

Tags:

Berita Terkait