Wirjono Prodjodikoro, Ensiklopedis Hukum di Kursi Ketua Mahkamah Agung
Utama

Wirjono Prodjodikoro, Ensiklopedis Hukum di Kursi Ketua Mahkamah Agung

Jalan lurus hakim sejak masa pemerintah Hindia-Belanda, pendudukan Jepang, hingga revolusi kemerdekaan.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

Peradilan masih bisa berjalan karena hanya pegawai kalangan Belanda saja yang ditangkap pemerintah militer Jepang. Wirjono diminta penguasa Jepang di wilayah Surabaya untuk memimpin pengadilan negeri di Malang. Ia terus bertugas di sana sampai kemerdekaan diproklamasikan tahun 1945.

Hampir Melepas Karier Hakim

“Selaku anggota Partai Nasional Indonesia saya masuk Badan Pemerintahan Keresidenan Malang,” Wirjono mengakui perannya membantu pembentukan pemerintahan daerah di awal kemerdekaan. Ia bertugas membantu Residen Malang di bagian umum. Saat Residen pensiun, Wirjono ikut dicalonkan untuk menggantikan.

Namun ia tidak dipilih pemerintah pusat sehingga tetap bertugas hakim. “Seandainya saya terpilih menjadi Residen Malang, karier saya akan berbeda alih-alih akan menjabat Ketua Mahkamah Agung,” ujarnya dalam autobiografi.

Tahun 1946 menjadi awal karier Wirjono di Mahkamah Agung. Ia diangkat sebagai hakim agung anggota di bawah kepemimpinan Mr.Kusumah Atmadja. Selanjutnya di tahun 1952 ia diangkat sebagai Ketua Mahkamah Agung menggantikan Kusumah Atmadja yang meninggal dunia.

Dukungan politik Partai Nasional Indonesia menjadi kunci kemenangan dalam pemungutan suara di Dewan Perwakilan Rakyat kala itu. “Partai Masyumi mencalonkan Mr.Tirtawinata, bekas Jaksa Agung dan menjabat Duta Besar di Pakistan waktu itu. Saya dicalonkan Partai Nasional Indonesia dan Partai Sosialis Indonesia,” kata Wirjono.

Ensiklopedis yang Positivis Tulen

Selain buka bunga rampai hukum, hukumonline mencatat 19 judul buku karya Wirjono Prodjodikoro. Kebanyakan diberi judul ‘Azas-azas’ seperti buku Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia. Buku tersebut masih digunakan sebagai salah satu bahan bacaan mata kuliah hukum pidana di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI).

Fernando Manullang, ahli filsafat hukum FHUI yang mengampu bidang ilmu dasar hukum, menjelaskan sosok Wirjono dengan melihat tokoh-tokoh hukum pada zamannya. “Karya tulis beliau tidak ada yang kontroversial, misal kalau Utrecht atau Padmo Wahyono ada. Beliau tidak pernah terlibat dalam polemik,” ujar Fernando.

Fernando menjelaskan bagaimana sosok Padmo Wahyono berpolemik soal gagasan negara integralistik. Di sisi lain pemikiran Utrecht soal pengayoman sebagai tujuan hukum cukup menjadi sorotan. Fernando menambahkan nama G.J.Resink yang menggunakan pendekatan hukum internasional saat menolak bahwa Indonesia dijajah selama 350 tahun. “Dugaan saya beliau lebih bersikap sebagai hakim dibandingkan sebagai ilmuwan,” Fernando menambahkan. Fernando mengakui nama Wirjono sebagai penulis buku hukum klasik muncul di banyak bidang hukum.

Dugaan lain Fernando, Wirjono sudah begitu menghayati sikap sebagai positivis tulen.  “Orang yang berpandangan positivis memandang apa yang ada dalam sistem hukum sudah baik-baik saja,” ujarnya. Hasilnya, semua yang sudah dituangkan dalam norma hukum negara dilihat sebagai ukuran normal yang cukup dijalankan saja. Itu sebabnya karya-karya Wirjono ibarat ensiklopedia yang menguraikan tanpa ada kritik atau usulan baru.

Pendapat lain diberikan Ramon Wahyudi, salah satu hakim Pengadilan Negeri Depok. Ia melihat karya-karya tulis dan aktivitas Wirjono mengajar memang tidak direncanakan untuk berpolemik secara akademik. “Setahu saya beliau mencari tambahan uang dari menulis buku dan mengajar,” ujar Ramon. Selain itu Wirjono diakuinya sebagai salah satu sosok teladan bagi para hakim Indonesia. “Beliau ini legenda,” kata Ramon.

Tags:

Berita Terkait