UU KIA Dinilai Hanya Fokus untuk Pekerja Sektor Formal
Utama

UU KIA Dinilai Hanya Fokus untuk Pekerja Sektor Formal

Perempuan yang bekerja di sektor informal, seperti pekerja rumah tangga (PRT), MHA, penyandang disabilitas, dan buruh migran tidak mendapat tempat atau luput dari pengaturan UU KIA.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Baginya, cuti melahirkan 3 bulan sama seperti yang berlaku selama ini, dan untuk menambah cuti lagi selama 3 bulan, UU KIA menetapkan syarat ada keterangan dokter dan kondisi khusus. Syarat itu dianggap tidak adil bagi perempuan, apalagi yang menyandang disabilitas. Begitu pula soal ASI eksklusif karena ada perempuan kelompok penyandang disabilitas tertentu yang tidak bisa memberikan ASI kepada anaknya dengan berbagai alasan. Padahal dengan penanganan yang tepat perempuan penyandang disabilitas bisa memberikan ASI secara mandiri dengan pendampingan.

“Mandiri bagi kami adalah di soal keputusan, ketika perempuan mau memberi ASI secara eksklusif itu bentuk kemandiriannya walau dibantu orang lain.”

Intervensi dini terhadap anak penyandang disabilitas juga tidak jelas diatur UU KIA. Harus ada mekanisme yang jelas agar anak penyandang disabilitas bisa dikembangkan potensinya sesuai dengan hak-haknya. Harus ada cara untuk melindungi perempuan penyandang disabilitas untuk dapat berkeluarga dan memiliki keturunan. Dalam implementasi UU KIA pemerintah dan pemerintah daerah harus melibatkan organisasi masyarakat sipil terutama yang membidangi isu penyandang disabilitas.

Hukumonline.com

Direktur Eksekutif Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Nanda Dwinta.

Tidak mendapat tempat

UU KIA juga dinilai luput memberi perhatian bagi penyandang disabilitas. Perwakilan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Rina Prasarani, mencatat dari perencanaan dan pembahasan tidak pernah melibatkan perempuan penyandang disabilitas. UU KIA tidak menjawab persoalan yang dihadapi perempuan penyandang disabilitas. Misalnya, UU KIA mayoritas mengatur tentang perempuan yang bekerja di sektor formal. Sementara perempuan penyandang disabilitas selalu terpinggirkan untuk masuk dalam pekerjaan sektor formal.

Perwakilan buruh migran Indonesia, Yuli Riswati, menjelaskan perempuan buruh migran juga tidak mendapat tempat dalam UU KIA. Sekalipun perempuan yang bekerja sebagai buruh migran ada di luar negeri, bukan berarti tidak perlu diatur dalam UU KIA. Harusnya UU KIA berlaku untuk semua perempuan warga negara Indonesia. Selain itu banyak frasa “wajib” dalam UU KIA dikhawatirkan ujungnya nanti memicu perundungan terhadap ibu dan perempuan.

“Pembentukan peraturan turunan UU KIA nanti harus melibatkan kalangan organisasi masyarakat sipil,” usulnya.

Perwakilan Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Jumisih, berpendapat PRT merupakan salah satu jenis pekerjaan informal yang kerap diampu perempuan. Jumisih berpendapat PRT bakal kesulitan mendapat hak-hak sebagaimana diatur UU KIA karena posisinya belum diakui sebagai pekerja/buruh. Tercatat sampai saat ini proses pembahasan RUU PRT di DPR mandek. Status RUU PRT baru sebatas dietapkan sebagai RUU usul inisiatif Badan Legislasi (Baleg) DPR.

“RUU PRT ini sudah 20 tahun di DPR, keluar masuk prolegnas (program legislasi nasional),” ungkapnya.

Nasib PRT mencerminkan nasib pekerja/buruh sektor informal yang jumlahnya mayoritas dibandingkan sektor formal yakni lebih dari 60 persen. Jumisih mendorong implementasi UU KIA ini dilaksanakan secara serius oleh pemerintah dan berlaku untuk semua jenis pekerja/buruh baik yang bekerja di sektor formal dan informal.

Tags:

Berita Terkait