Pemerintah perlu menerbitkan kebijakan afirmatif bagi perempuan dan anak untuk mendukung perlindungan dan kesejahteraan. Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan yang telah disetujui DPR menjadi UU dalam rapat paripurna beberapa waktu lalu diharapkan mampu menjawab tantangan tersebut.
Tapi RUU inisiatif DPR itu mendapat kritik dari perempuan yang tergabung dalam Jaringan untuk Kebijakan Adil Gender. Sebab, fokus substansi yang diatur UU ini hanya menyasar perempuan yang bekerja di sektor formal. Sementara perempuan yang bekerja di sektor informal, masyarakat hukum adat (MHA), penyandang disabilitas, dan buruh migran luput dari perhatian.
Perwakilan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Barito Timur, Yeryana, menilai tema RUU KIA sudah baik, niatnya untuk memberi kesejahteraan kepada ibu dan anak. Tapi, UU KIA terkesan hanya berlaku untuk perempuan yang bekerja di sektor formal. Sementara perempuan yang bekerja di sektor informal termasuk masyarakat hukum adat (MHA) tidak masuk dalam pengaturan UU KIA. Padahal perempuan dalam MHA juga perlu perhatian pemerintah, terutama menjamin perempuan adat mampu melahirkan generasi yang sehat. Cara yang bisa dilakukan pemerintah antara lain memberi ruang kehidupan yang sehat dan berkelanjutan bagi MHA.
Baca Juga:
- 6 Rekomendasi Serikat Pekerja Agar Implementasi UU KIA Efektif \
- Disahkan Jadi UU, Ini 6 Poin Penting Pengaturan UU Kesejahteraan Ibu dan Anak
- KPAI Apresiasi Langkah DPR Setujui UU Kesejahteraan Ibu dan Anak
Yeryana menegaskan ruang hidup MHA terjepit berbagai industri seperti pertambangan dan perkebunan. Akibatnya, sumber kehidupan MHA semakin terancam dan tergusur. “Sejahtera bagi kami MHA yakni bagaimana bisa mengakses sumber kehidupan kami secara berkelanjutan,” kata Yeryana dalam diskusi bertema “Menakar efektivitas UU KIA: Lemahnya Substansi dan Potensi Kerancuan dalam Implementasi”, Sabtu (29/06/2024) kemarin.
Direktur Eksekutif Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Nanda Dwinta mengatakan substansi UU KIA sudah diatur dalam UU lainnya, misalnya tentang air susu ibu (ASI), pemenuhan kesehatan ibu dan anak sudah diatur UU No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Bahkan aturan UU 17/2023 lebih rinci dan peraturan turunan yang diterbitkan harus terus dikawal. “Sejak awal kami menolak RUU KIA, karena isinya tumpang tindih dengan regulasi lain,” tegasnya.
Alih-alih menjadi terobosan, Nanda berpendapat UU KIA ini berpotensi membebani ibu, misalnya ketentuan tentang donor ASI yang menetapkan syarat harus ada alasan medis dengan catatan dan pelaporan. Syarat tersebut justru menyulitkan proses donor ASI, terutama bagi perempuan yang mengalami kekerasan, sehingga secara psikis tidak sanggup memberikan ASI kepada anaknya. Setidaknya dalam peraturan turunan nanti ketentuan donor ASI harus dipermudah dan diperjelas. “Jangan ditambah sanksi, malah menjadi beban bagi perempuan,” harapnya.