UU KIA Dinilai Hanya Fokus untuk Pekerja Sektor Formal
Utama

UU KIA Dinilai Hanya Fokus untuk Pekerja Sektor Formal

Perempuan yang bekerja di sektor informal, seperti pekerja rumah tangga (PRT), MHA, penyandang disabilitas, dan buruh migran tidak mendapat tempat atau luput dari pengaturan UU KIA.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Perwakilan AMAN Barito Timur, Yeryana dalam diskusi bertema ‘Menakar efektivitas UU KIA: Lemahnya Substansi dan Potensi Kerancuan dalam Implementasi’, Sabtu (29/6/2024). Tangkapan Zoom.
Perwakilan AMAN Barito Timur, Yeryana dalam diskusi bertema ‘Menakar efektivitas UU KIA: Lemahnya Substansi dan Potensi Kerancuan dalam Implementasi’, Sabtu (29/6/2024). Tangkapan Zoom.

Pemerintah perlu menerbitkan kebijakan afirmatif bagi perempuan dan anak untuk mendukung perlindungan dan kesejahteraan. Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan yang telah disetujui DPR menjadi UU dalam rapat paripurna beberapa waktu lalu diharapkan mampu menjawab tantangan tersebut.

Tapi RUU inisiatif DPR itu mendapat kritik dari perempuan yang tergabung dalam Jaringan untuk Kebijakan Adil Gender. Sebab, fokus substansi yang diatur UU ini hanya menyasar perempuan yang bekerja di sektor formal. Sementara perempuan yang bekerja di sektor informal, masyarakat hukum adat (MHA), penyandang disabilitas, dan buruh migran luput dari perhatian.

Perwakilan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Barito Timur, Yeryana, menilai tema RUU KIA sudah baik, niatnya untuk memberi kesejahteraan kepada ibu dan anak. Tapi, UU KIA terkesan hanya berlaku untuk perempuan yang bekerja di sektor formal. Sementara perempuan yang bekerja di sektor informal termasuk masyarakat hukum adat (MHA) tidak masuk dalam pengaturan UU KIA. Padahal perempuan dalam MHA juga perlu perhatian pemerintah, terutama menjamin perempuan adat mampu melahirkan generasi yang sehat. Cara yang bisa dilakukan pemerintah antara lain memberi ruang kehidupan yang sehat dan berkelanjutan bagi MHA.

Baca Juga:

Yeryana menegaskan ruang hidup MHA terjepit berbagai industri seperti pertambangan dan perkebunan. Akibatnya, sumber kehidupan MHA semakin terancam dan tergusur. “Sejahtera bagi kami MHA yakni bagaimana bisa mengakses sumber kehidupan kami secara berkelanjutan,” kata Yeryana dalam diskusi bertema “Menakar efektivitas UU KIA: Lemahnya Substansi dan Potensi Kerancuan dalam Implementasi”, Sabtu (29/06/2024) kemarin.

Direktur Eksekutif Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Nanda Dwinta mengatakan substansi UU KIA sudah diatur dalam UU lainnya, misalnya tentang air susu ibu (ASI), pemenuhan kesehatan ibu dan anak sudah diatur UU No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Bahkan aturan UU 17/2023 lebih rinci dan peraturan turunan yang diterbitkan harus terus dikawal. “Sejak awal kami menolak RUU KIA, karena isinya tumpang tindih dengan regulasi lain,” tegasnya.

Alih-alih menjadi terobosan, Nanda berpendapat UU KIA ini berpotensi membebani ibu, misalnya ketentuan tentang donor ASI yang menetapkan syarat harus ada alasan medis dengan catatan dan pelaporan. Syarat tersebut justru menyulitkan proses donor ASI, terutama bagi perempuan yang mengalami kekerasan, sehingga secara psikis tidak sanggup memberikan ASI kepada anaknya. Setidaknya dalam peraturan turunan nanti ketentuan donor ASI harus dipermudah dan diperjelas. “Jangan ditambah sanksi, malah menjadi beban bagi perempuan,” harapnya.

Baginya, cuti melahirkan 3 bulan sama seperti yang berlaku selama ini, dan untuk menambah cuti lagi selama 3 bulan, UU KIA menetapkan syarat ada keterangan dokter dan kondisi khusus. Syarat itu dianggap tidak adil bagi perempuan, apalagi yang menyandang disabilitas. Begitu pula soal ASI eksklusif karena ada perempuan kelompok penyandang disabilitas tertentu yang tidak bisa memberikan ASI kepada anaknya dengan berbagai alasan. Padahal dengan penanganan yang tepat perempuan penyandang disabilitas bisa memberikan ASI secara mandiri dengan pendampingan.

“Mandiri bagi kami adalah di soal keputusan, ketika perempuan mau memberi ASI secara eksklusif itu bentuk kemandiriannya walau dibantu orang lain.”

Intervensi dini terhadap anak penyandang disabilitas juga tidak jelas diatur UU KIA. Harus ada mekanisme yang jelas agar anak penyandang disabilitas bisa dikembangkan potensinya sesuai dengan hak-haknya. Harus ada cara untuk melindungi perempuan penyandang disabilitas untuk dapat berkeluarga dan memiliki keturunan. Dalam implementasi UU KIA pemerintah dan pemerintah daerah harus melibatkan organisasi masyarakat sipil terutama yang membidangi isu penyandang disabilitas.

Hukumonline.com

Direktur Eksekutif Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Nanda Dwinta.

Tidak mendapat tempat

UU KIA juga dinilai luput memberi perhatian bagi penyandang disabilitas. Perwakilan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Rina Prasarani, mencatat dari perencanaan dan pembahasan tidak pernah melibatkan perempuan penyandang disabilitas. UU KIA tidak menjawab persoalan yang dihadapi perempuan penyandang disabilitas. Misalnya, UU KIA mayoritas mengatur tentang perempuan yang bekerja di sektor formal. Sementara perempuan penyandang disabilitas selalu terpinggirkan untuk masuk dalam pekerjaan sektor formal.

Perwakilan buruh migran Indonesia, Yuli Riswati, menjelaskan perempuan buruh migran juga tidak mendapat tempat dalam UU KIA. Sekalipun perempuan yang bekerja sebagai buruh migran ada di luar negeri, bukan berarti tidak perlu diatur dalam UU KIA. Harusnya UU KIA berlaku untuk semua perempuan warga negara Indonesia. Selain itu banyak frasa “wajib” dalam UU KIA dikhawatirkan ujungnya nanti memicu perundungan terhadap ibu dan perempuan.

“Pembentukan peraturan turunan UU KIA nanti harus melibatkan kalangan organisasi masyarakat sipil,” usulnya.

Perwakilan Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Jumisih, berpendapat PRT merupakan salah satu jenis pekerjaan informal yang kerap diampu perempuan. Jumisih berpendapat PRT bakal kesulitan mendapat hak-hak sebagaimana diatur UU KIA karena posisinya belum diakui sebagai pekerja/buruh. Tercatat sampai saat ini proses pembahasan RUU PRT di DPR mandek. Status RUU PRT baru sebatas dietapkan sebagai RUU usul inisiatif Badan Legislasi (Baleg) DPR.

“RUU PRT ini sudah 20 tahun di DPR, keluar masuk prolegnas (program legislasi nasional),” ungkapnya.

Nasib PRT mencerminkan nasib pekerja/buruh sektor informal yang jumlahnya mayoritas dibandingkan sektor formal yakni lebih dari 60 persen. Jumisih mendorong implementasi UU KIA ini dilaksanakan secara serius oleh pemerintah dan berlaku untuk semua jenis pekerja/buruh baik yang bekerja di sektor formal dan informal.

Tags:

Berita Terkait