UU Cipta Kerja Dinilai Memperlebar Korupsi dan Menjauhkan Ekonomi Berkelanjutan
Utama

UU Cipta Kerja Dinilai Memperlebar Korupsi dan Menjauhkan Ekonomi Berkelanjutan

Dampak berlakunya UU Cipta Kerja investor berkualitas, yang mengutamakan pembangunan keberlanjutan termasuk menghargai sektor lingkungan hidup dan hak-hak ketenagakerjaan, enggan masuk ke Indonesia. Karena itu, tiga opsi konstitusional, executive review, legislative review, judicial review harus diupayakan semua.

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit

Selain berpotensi memperlebar ruang korupsi, Faisal berpendapat UU Cipta Kerja menjauhkan prinsip ekonomi berkelanjutan karena eksploitasi SDA berpeluang makin besar. UU Cipta Kerja lebih mengakomodir kepentingan investor domestik yang tidak mampu bersaing dengan investor luar negeri (asing). Karena itu, arah investasi lebih banyak menyasar sektor perdagangan dan eksploitasi SDA.

“Kalau disini kan yang dekat dengan kekuasaan bisa mendapat konsesi lahan sawit, batubara, dan lainnya,” sindirnya.

Dampak setelah UU Cipta Kerja ini diterbitkan, menurut Faisal, investor berkualitas enggan masuk ke Indonesia. Padahal investor berkualitas sangat penting karena mereka mengutamakan keberlanjutan lingkungan termasuk (menghargai) hak-hak ketenagakerjaan. Investor berkualitas memandang setiap pelanggaran akan berdampak buruk terhadap bisnis mereka. Karena itu, Faisal menilai yang akan masuk setelah UU Cipta Kerja diterbitkan yakni investor berkualitas rendah.

“Memang bisa jadi nanti investasi meningkat, tapi investor (lokal, red) berkualitas rendah yang masuk. sedangkan investor yang berkualitas baik tidak mau masuk,” tegasnya.

Harus diupayakan semua

Dosen STH Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menegaskan proses penyusunan RUU Cipta Kerja tidak melalui proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Beberapa hal yang disorot antara lain minimnya partisipasi publik dan pembahasan yang dilakukan cenderung tertutup. Alhasil, UU Cipta Kerja tidak menjawab akar masalah, tapi hanya menjawab gejala dari persoalan yang sebenarnya terjadi. “Ini akan menguntungkan elit dan oligarki karena demokrasi secara prosedural menempatkan elit politik sebagai pengambil keputusan,” kata Bivitri dalam kesempatan yang sama.

Bivitri menyebut ada 3 opsi konstitusional yang tersedia bagi masyarakat. Pertama, wilayah eksekutif dengan menerbitkan Perppu. Tapi opsi ini perlu dicermati karena Presiden yang ingin UU Cipta Kerja segera terbit. Namun demikian, Presiden harus bertanggung jawab atas kerusakan sosial dan hukum yang timbul. Kedua, wilayah legislatif dengan cara membuat UU baru yang membatalkan. Tapi DPR terlihat tidak ada kemauan politik karena cenderung mengikuti apa yang diinginkan pemerintah.

Ketiga, wilayah yudikatif melalui uji materi di MK. Ada dua uji materi yang bisa dilakukan yakni formil dan materil. Bivitri mengingatkan proses uji materi di MK relatif lama dan tidak pasti karena tidak ada batas waktu maksimal penyelesaian perkara. Presiden Jokowi juga mengarahkan bagi pihak yang tidak puas melakukan uji materi ke MK, tapi menurut Bivitri hal ini seolah menjadikan MK sebagai “keranjang” untuk membuang produk legislasi yang asal.

Tapi, setelah pemerintah dan DPR belum lama ini mengetok revisi UU MK, ada potensi daya kritis majelis hakim konstitusi berkurang atau melemah. Bivitri menegaskan ketiga opsi konstitusional itu harus diupayakan semua. “Karena RUU Cipta Kerja akan banyak menimbulkan problem tata kelola pemerintahan dan korupsi,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait