UU Cipta Kerja Dinilai Memperlebar Korupsi dan Menjauhkan Ekonomi Berkelanjutan
Utama

UU Cipta Kerja Dinilai Memperlebar Korupsi dan Menjauhkan Ekonomi Berkelanjutan

Dampak berlakunya UU Cipta Kerja investor berkualitas, yang mengutamakan pembangunan keberlanjutan termasuk menghargai sektor lingkungan hidup dan hak-hak ketenagakerjaan, enggan masuk ke Indonesia. Karena itu, tiga opsi konstitusional, executive review, legislative review, judicial review harus diupayakan semua.

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit
Sidang paripurna saat persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi UU, Senin (5/10). Foto: RES
Sidang paripurna saat persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi UU, Senin (5/10). Foto: RES

Beragam kritik terus disuarakan elemen masyarakat sipil terhadap UU Cipta Kerja yang pada 5 Oktober 2020 baru disetujui pemerintah, DPR, dan DPD. Pemerintah mengklaim UU Cipta Kerja ditujukan untuk meningkatkan investasi guna membuka lapangan pekerjaan baru. Bahkan, diklaim UU Cipta Kerja membantu mengurangi potensi korupsi karena prosedur perizinan lebih disederhanakan.

Sekjen Transparency International Indonesia (TII), Danang Widoyoko, mengatakan indeks korupsi Indonesia sebelum revisi UU KPK skornya 40. Beberapa faktor yang menyebabkan skor Indonesia mandek karena terkait korupsi politik dan korupsi di bidang peradilan. “Korupsi politik dan peradilan itu berdampak pada kepastian investasi,” kata Danang Widoyoko dalam diskusi secara daring bertema “UU Cipta Kerja vs Pemberantasan Korupsi”, Kamis (15/10/2020).

Tingkat Global Competitiveness Index (GCI) Indonesia tahun 2020 berada di peringkat 50. Dadang menyebut ada 12 indikator yang digunakan untuk menghitung indeks ini. Beberapa indikator yang perlu dibenahi untuk meningkatkan GCI, antara lain kemampuan riset yang rendah, infrastruktur IT, dan institusi pemerintahan. “Tidak ada soal ketenagakerjaan dan lingkungan hidup,” kata dia.  

Begitu pula tingkat EODB Indonesia berada di peringkat 73 dan berbagai indikator yang digunakan untuk menilai indeks kemudahan berusaha ini tidak ada yang terkait ketenagakerjaan, melainkan memulai bisnis dan penegakan kontrak. Alih-alih membenahi berbagai persoalan yang dihadapi itu, pemerintah malah menempuh cara lain yakni menerbitkan UU Cipta Kerja. Ada dua hal yang paling disorot masyarakat dari regulasi ini yakni sektor ketenagakerjaan dan lingkungan hidup.

Mengacu hal tersebut, Dadang ragu jika UU Cipta Kerja ini memudahkan masuknya investasi dari luar negeri. Beragam ketentuan yang ada dalam UU Cipta Kerja dinilai lebih mengakomodir kepentingan investasi lokal. Hal ini diperkuat oleh proses penyusunan RUU Cipta Kerja yang berbeda dari RUU lain yang melibatkan akademisi dan ahli. Apalagi, Satgas yang dibentuk pemerintah isinya sebagian besar kalangan pengusaha.

Terlebih, Danang melihat ada lebih dari 30 investor luar negeri yang mengkritik UU Cipta Kerja. Dia yakin puluhan investor yang menolak UU Cipta Kerja itu tergolong investor berkualitas karena mereka mengutamakan pembangunan (ekonomi) yang berkelanjutan termasuk di sektor lingkungan hidup dan ketenagakerjaan.

“Tapi yang ‘dijual’ (lewat UU Cipta Kerja, red) ini politik upah murah. Makin jauh dengan green recovery dan sustainability,” ujarnya. (Baca Juga: Pengujian UU Cipta Kerja Potensi Sulit Dikabulkan, Ini Tiga Indikator Menurut Pakar)  

Ekonom senior Indef, Faisal Basri, menilai UU Cipta Kerja berpotensi membuka peluang lebar korupsi dan eksploitasi sumber daya alam (SDA). Menurutnya, ada upaya sistematis yang bergulir mulai dari melemahkan KPK melalui revisi UU KPK, kemudian revisi UU MK, dan RUU Energi Terbarukan yang makin memuluskan eksploitasi SDA.

Faisal menilai upaya yang sudah dilakukan pemerintah selama ini untuk meningkatkan kemudahan berusaha di Indonesia sudah berada di jalan yang benar. Terbukti, dari naiknya indeks EODB Indonesia dari 120 menjadi 73. Jika langkah ini dilanjutkan indeks EODB Indonesia bisa naik menjadi 40 atau lebih baik lagi. Untuk mencapai peringkat yang lebih baik itu caranya tidak sulit, karena pemerintah hanya perlu membenahi salah satu indikator EODB yakni trading across borders atau perdagangan luar negeri (ekspor dan impor).

“Indikator ini sarang korupsi, tapi tidak masuk menjadi bagian yang disasar UU Cipta Kerja,” ungkapnya.

Faisal memberi contoh komoditas gula dimana hanya ada sedikitnya 11 perusahaan yang diberikan izin melakukan impor. Tingkat konsumsi gula Indonesia per tahun mencapai 4,5 juta ton. Tapi selisih harga gula di dalam negeri yang dijual di pasaran jauh lebih mahal. Sekalipun ada investor asing yang masuk, Faisal yakin pasti akan mendapat gangguan baik ketika melakukan impor atau ekspor. Menurutnya, ini sumber korupsi terbesar.

“Indikator trading across border ini terpuruk di era Jokowi dari 54 ke posisi 116,” paparnya.

Banyak pula pandangan yang menyebut investasi di Indonesia kalah dibandingkan Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Tapi, dari data Foreign Direct Investment tahun 2019, Indonesia masuk dalam 20 negara terbaik tujuan investasi. Negara Asia Tenggara yang masuk dalam jajaran 20 negara tujuan investasi itu hanya Singapura dan Indonesia.

Selain itu, Presiden Jokowi sebagaimana diberitakan sejumlah media menyebut UU Cipta Kerja diperlukan untuk menciptakan lapangan kerja baru karena setiap tahun ada 2,9 juta angkatan kerja baru yang tingkat pendidikannya setara sekolah dasar. Tapi melihat jumlah tingkat pengangguran yang ada di Indonesia kebanyakan bukan berasal dari tingkat pendidikan sekolah dasar, tapi justru lebih tinggi yakni SMK dan perguruan tinggi.

Meski banyak pengangguran tingkat pendidikan tinggi, tapi pemerintah malah mau fokus untuk menciptakan lapangan pekerjaan di sektor padat karya. “UU Cipta Kerja yang diterbitkan ini sangat lemah untuk meningkatkan investasi, membuka lapangan kerja, dan lainnya. Ini terjadi karena titik pijaknya salah yakni menyebut investasi di Indonesia jeblok. Padahal yang terjadi investasi banyak, tapi hasilnya sedikit karena korupsi,” bebernya.

Selain berpotensi memperlebar ruang korupsi, Faisal berpendapat UU Cipta Kerja menjauhkan prinsip ekonomi berkelanjutan karena eksploitasi SDA berpeluang makin besar. UU Cipta Kerja lebih mengakomodir kepentingan investor domestik yang tidak mampu bersaing dengan investor luar negeri (asing). Karena itu, arah investasi lebih banyak menyasar sektor perdagangan dan eksploitasi SDA.

“Kalau disini kan yang dekat dengan kekuasaan bisa mendapat konsesi lahan sawit, batubara, dan lainnya,” sindirnya.

Dampak setelah UU Cipta Kerja ini diterbitkan, menurut Faisal, investor berkualitas enggan masuk ke Indonesia. Padahal investor berkualitas sangat penting karena mereka mengutamakan keberlanjutan lingkungan termasuk (menghargai) hak-hak ketenagakerjaan. Investor berkualitas memandang setiap pelanggaran akan berdampak buruk terhadap bisnis mereka. Karena itu, Faisal menilai yang akan masuk setelah UU Cipta Kerja diterbitkan yakni investor berkualitas rendah.

“Memang bisa jadi nanti investasi meningkat, tapi investor (lokal, red) berkualitas rendah yang masuk. sedangkan investor yang berkualitas baik tidak mau masuk,” tegasnya.

Harus diupayakan semua

Dosen STH Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menegaskan proses penyusunan RUU Cipta Kerja tidak melalui proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Beberapa hal yang disorot antara lain minimnya partisipasi publik dan pembahasan yang dilakukan cenderung tertutup. Alhasil, UU Cipta Kerja tidak menjawab akar masalah, tapi hanya menjawab gejala dari persoalan yang sebenarnya terjadi. “Ini akan menguntungkan elit dan oligarki karena demokrasi secara prosedural menempatkan elit politik sebagai pengambil keputusan,” kata Bivitri dalam kesempatan yang sama.

Bivitri menyebut ada 3 opsi konstitusional yang tersedia bagi masyarakat. Pertama, wilayah eksekutif dengan menerbitkan Perppu. Tapi opsi ini perlu dicermati karena Presiden yang ingin UU Cipta Kerja segera terbit. Namun demikian, Presiden harus bertanggung jawab atas kerusakan sosial dan hukum yang timbul. Kedua, wilayah legislatif dengan cara membuat UU baru yang membatalkan. Tapi DPR terlihat tidak ada kemauan politik karena cenderung mengikuti apa yang diinginkan pemerintah.

Ketiga, wilayah yudikatif melalui uji materi di MK. Ada dua uji materi yang bisa dilakukan yakni formil dan materil. Bivitri mengingatkan proses uji materi di MK relatif lama dan tidak pasti karena tidak ada batas waktu maksimal penyelesaian perkara. Presiden Jokowi juga mengarahkan bagi pihak yang tidak puas melakukan uji materi ke MK, tapi menurut Bivitri hal ini seolah menjadikan MK sebagai “keranjang” untuk membuang produk legislasi yang asal.

Tapi, setelah pemerintah dan DPR belum lama ini mengetok revisi UU MK, ada potensi daya kritis majelis hakim konstitusi berkurang atau melemah. Bivitri menegaskan ketiga opsi konstitusional itu harus diupayakan semua. “Karena RUU Cipta Kerja akan banyak menimbulkan problem tata kelola pemerintahan dan korupsi,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait