Urgensi Pemindahan Ibukota Negara
Kolom

Urgensi Pemindahan Ibukota Negara

​​​​​​​Ada beberapa hal yang harus dijadikan pertimbangan dalam pemindahan ibukota negara.

Bacaan 2 Menit

 

Dari sudut topografi, wilayah Kutai Kartanegara sebagian besar bergelombang dan berbukit dengan kelerengan landai sampai curam. Daerah dengan kemiringan datar sampai landai terdapat di beberapa bagian, yaitu wilayah pantai dan daerah aliran sungai Mahakam. Pada wilayah pedalaman dan perbatasan pada umumnya merupakan kawasan pegunungan dengan ketinggian antara 500 hingga 2.000 m di atas permukaan laut.

 

Kabupaten kedua yang menjadi calon ibukota juga adalah Penajam Paser Utara/PPU. Kabupaten PPU merupakan yang termuda ke dua di Kalimantan Timur. Akhirnya setelah melalui perjuangan panjang yang dilakukan oleh masyarakat yang bercita–cita untuk dapat hidup lebih sejahtera dapat tercapai. Ini ditandai dengan terbentuknya Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara secara yuridis formal berdasarkan UU No. 7 tahun 2002 yang berisi tentang Pembentukan Kabupaten Penajam Paser Utara. Dengan dikeluarkannya Undang-undang nomor 7 tahun 2002 ini, maka empat kecamatan, yakni Kecamatan Penajam, Waru, Babulu dan Sepaku telah resmi menjadi satu dalam wilayah kabupaten, yakni Kabupaten Penajam Paser Utara yang merupakan Kabupaten ke-13 di Provinsi Kalimantan Timur.

 

Secara geografis kedua kabupaten calon ibukota negara terlihat di tengah-tengah khatulistiwa. Dengan jumlah hutannya yang masih sangat luas, sehingga Kaltim dikenal sebagai paru-paru dunia. Studi kelayakan diperlukan untuk menjadikan kedua kabupaten tersebut sebagai ibukota, mengingat kedua kabupaten di Kaltim tersebut merupakan wilayah yang masih kental dengan masyarakat adatnya. Apakah urgent bagi Presiden Jokowi melakukan pemindahan ibukota negara?

 

Menurut penulis tidak urgent. Ada beberapa hal yang harus dijadikan pertimbangan dalam hal ini, antara lain pertama, alasan pemerataan pembangunan dan ekonomi, seperti yang dikemukakan oleh Presiden  Jokowi pada Pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 2019 di Istana Negara. Ini bukanlah alasan tepat untuk melakukan pemindahan ibukota hanya untuk pemerataan pembangunan dan ekonomi.

 

Pemerataan pembangunan dan ekonomi yang berkeadilan tidaklah bisa diukur dari peran ibukotanya, namun pada kebijakan pemerintah yang pro rakyat kecil untuk mensejahterakan ekonomi rakyatnya dari Sabang sampai Merauke. Hal penting adalah peningkatan jumlah sarana dan prasarana untuk rakyat agar menumbuhkan dan menghidupkan giat ekonomi masyarakat dengan penghasilan rendah, bahkan masyarakat miskin. Pemberian kredit permodalan dengan basis syariah tanpa bunga, jauh lebih efektif untuk masyarakat pedesaan dan UKM.

 

Alasan kedua, secara sosial budaya, apakah penduduk setempat sudah terinformasi dengan terbuka dan tercerahkan pada akan adanya perubahan secara menyeluruh pada bidang kehidupan mereka. Apakah hal ini sudah dipelajari dengan seksama, mengingat Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki 15 suku asli dan pendatang, demikian pula dengan Kabupaten PPU. Perlu waktu dan proses yang tidak singkat untuk meyakinkan penduduk asli terhadap kebaruan dan transformasi berbagai bidang kehidupan. 

 

Alasan ketiga, dari aspek sarana prasarana dan keuangan negara. Saat ini tiga lembaga negara (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif), kementerian, kedutaan besar, lembaga-lembaga negara non kementerian, lembaga pertahanan dan keamanan, semua berpusat di ibukota DKI Jakarta. Bisa diperhitungkan dan diprediksikan berapa dana diperlukan oleh pemerintah untuk membangun sarana dan prasarana serupa di ibukota baru. Apalagi pada beberapa kali jumpa pers, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa tahun 2019 defisit APBN mencapai triliunan rupiah. Belum lagi jumlah hutang Indonesia dengan lembaga keuangan asing dan negara lain sudah mencapai tingkat kronis. Melakukan pemindahan ibukota pada saat ini adalah bukan keputusan yang bijak dari segi ekonomi dan keuangan negara. 

Tags:

Berita Terkait