Urgensi Pemindahan Ibukota Negara
Kolom

Urgensi Pemindahan Ibukota Negara

​​​​​​​Ada beberapa hal yang harus dijadikan pertimbangan dalam pemindahan ibukota negara.

Bacaan 2 Menit

 

Atas pernyataan yang diumumkan oleh Presiden Jokowi tersebut, telah  menimbulkan pro dan kontra, mengingat kondisi negara saat ini sangat kurang kondusif dari segi situasi keamanan, pertahanan, serta persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini antara lain terkait dengan adanya penyerangan Asrama Mahasiswa di Jawa Timur baru-baru ini, kejadian pembakaran bendera Merah Putih di depan kantor DPRD Papua, pengibaran bendera Bintang Kejora di depan Istana Negara Jakarta, sampai isu referendum dari OPM/Organisasi Papua Merdeka. Belum lagi isu-isu lain yang tengah meramaikan dan mengancam terjadinya perpecahan umat Islam di negeri ini, radikal, anti pancasila, intoleran sampai isu terorisme. Namun isu-isu tersebut seakan tertutup dengan isu pemindahan ibukota negara.

 

Indonesia dengan ciri negara demokrasi, di mana pemerintahan berasal dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, sepertinya tidak terlihat dalam pembahasan pemindahan ibukota ini. Presiden dengan beberapa menteri terkait mengumumkan secara resmi di Istana Negara, sedangkan sehari sesudahnya baru Dewan Perwakilan Rakyat mengadakan Rapat Paripurna ke-4, Masa Persidangan pertama pada 2019-2020.

 

Agenda dari Sidang Paripurna DPR tersebut adalah membahas Pemindahan Ibukota berdasarkan Surat Presiden kepada DPR No. R34/PRES/08/2019, tertanggal 23 Agustus 2019. Yang menjadi ironinya adalah ketika Sidang Paripurna DPR yang seharusnya dihadiri oleh 560 anggota DPR, hanya sejumlah 60 orang di dalam ruang sidang dan sebanyak 282 yang telah mengisi daftar hadir tetapi secara fisik tidak ada penampakan.

 

Berdasarkan Surat Keputusan DPR RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib Anggota DPR RI, maka jumlah peserta yang hanya 60 orang merupakan jumlah yang sangat jauh dari kuorum. Tidaklah heran akhirnya, walau telah dibahas di dalam Rapat Paripurna DPR RI, namun masih meninggalkan perbedaan pendapat dan pandangan dari elemen-elemen yang ada dalam masyarakat.

 

Mari coba mengenal lebih dekat wilayah yang akan dijadikan ibukota baru, yaitu Kabupaten Kutai Kertanegara dan Penajam Paser Utara di Kalimantan Timur. Ada apakah dengan wilayah tersebut? Apakah memiliki nilai lebih seperti layaknya Kota Jakarta? Alangkah baiknya kita mengenal lebih dekat kabupaten tersebut secara geografis, kependudukan, serta sosial, ekonomi dan budaya masyarakat adat setempat.

 

Kutai Kertanagera dan Penajam Paser Utara

Melihat aspek geografis dan kependudukan, Kalimantan Timur menurut data BPS RI per 2018 memiliki jumlah desa sebanyak 156, dengan kepadatan penduduk 105 jiwa/km persegi (data per 2 Maret 2017). Jumlah penduduk pada 2010 berkisar 3.553.143 (per 9 Juli 2012). Laju pertumbuhan penduduk per 21 November 2017, berada pada angka 2,58 % dengan Dependency Ratio tahun 2010-2030 sebesar 44,5 % ditahun 2020. Data per 2013, untuk perkebunan terdapat sejumlah 116 perusahaan di Kalimantan Timur dengan jumlah tenaga kerja sejumlah 39.414 orang.

 

Secara social budaya, penduduk di Kutai Kartanegara terbagi atas penduduk asli (yang terdiri dari delapan suku, yaitu Suku Dayak Benuaq, Dayak Tunjung, Dayak Bahau, Dayak Modang, Dayak Kenyah, Dayak Punan dan Dayak Kayan) sedangkan penduduk pendatang terdiri dari tujuh suku (Suku Banjar, Jawa, Bugis, Mandar, Madura, Buton dan Timor).  

Tags:

Berita Terkait