Urgensi Ganti Kerugian Bagi Korban Salah Tangkap
Kolom

Urgensi Ganti Kerugian Bagi Korban Salah Tangkap

PP 27/983 yang kemudian direvisi melalui PP 58/2010, tidak menyentuh masalah substansial tentang ganti kerugian. Aspek yang diatur dalam PP No. 58/2010 tersebut hanya menyangkut syarat-syarat kepangkatan tanpa menyinggung tentang permasalahan ganti kerugian ini.

Bacaan 2 Menit

Ganti Kerugian dalam Revisi KUHAP
Tak bisa dipungkiri urgensi revisi PP 27/1983 jo. PP 58/2010 ini harus segera dilakukan, khususnya terkait ketentuan lama menyangkut ganti kerugian dalam proses praperadilan, ketentuan “usang” tersebut semakin tidak relevan lagi seiring dengan perkembangan zaman. Layaknya definisi hukum positif sebagai hukum yang berlaku pada tempat tertentu dan masa tertentu, definisi tersebut pula yang mengisyaratkan bahwa ketentuan PP 27/1983 tersebut kini sudah usang untuk tetap dipertahankan, ketentuan yang mungkin relevan pada masa periode tahun 1983, namun setelah berusia lebih dari 30 tahun, ketentuan tersebut harus berubah mengikuti perkembangan jaman.

Selain itu, perlu dicermati juga tentang pengaturan ganti kerugian dalam Revisi KUHAP mendatang. Dalam diskusi yang digelar pertengahan Agustus lalu bersama dengan anggota jaringan koalisi RUU KUHAP, terdapat beberapa masukan yang harus bisa diabsorbsi dalam ketentuan RUU KUHAP yang terbaru terkait dengan mekanisme rehabilitasi dan ganti kerugian, seperti nilai ganti kerugian seharusnya tidak perlu dibatasi dengan nominal tertentu, serta  putusan ganti kerugian yang secara otomatis melekat dijatuhkan bersamaan dengan putusan bebas atau lepas atas tindak pidana yang didakwakan. Artinya dalam hal ini negara secara otomatis memiliki tanggung jawab untuk memberikan ganti kerugian bagi mereka yang tidak terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan, apalagi jika karena tuduhan tersebut orang yang tidak bersalah harus sampai mendekam dan terampas kebebasannya di dalam tahanan.

Satu hal yang harus dicermati adalah ketentuan Pasal 128 ayat (6) RUU KUHAP yang berpotensi menghilangkan hak-hak korban salah tangkap yang telah diputus bebas berdasarkan putusan pengadilan untuk menuntut ganti kerugian kepada negara.

Dalam hal terdakwa yang telah dilakukan penangkapan, penahanan, tindakan lain, dituntut, atau diadili sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum oleh pengadilan, maka terdakwa tidak dapat menuntut ganti kerugian

Berdasarkan konstruksi tersebut maka hak-hak yang terdahulu diatur melalui mekanisme ganti kerugian akan  dihilangkan. Ini tentunya menjadi hal yang berbahaya karena tanpa adanya fungsi kontrol “sanksi” maka negara akan dengan mudahnya melakukan upaya paksa kepada rakyatnya dan upaya rakyat untuk menuntut ganti kerugian atas kebebasan yang diambil oleh negara atas dirinya menjadi hilang begitu saja. negara seakan diberi imunitas untuk bertindak di luar batas. Padahal dalam Pasal yang sama di Pasal 128 ayat (1) dinyatakan bahwa:

Tersangka, terdakwa, atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, diadili, atau dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang sah berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

Dalam praktiknya akan sangat sulit nantinya untuk untuk memisahkan antara kekeliruan terhadap orang dan hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 128 ayat (1) yang diberikan hak untuk menuntut ganti kerugian, dengan putusan bebas (vrijspraak) atau lepas (onslag) yang tidak berhak untuk menuntut ganti kerugian, karena toh akhirnya jika terjadi kekeliruan terhadap orang yang diadili akan berujung pada putusan bebas ataupun jika terjadi kekeliruan atas hukum maka seharusnya dijatuhkan vonis lepas (ex: perdata yang dipidanakan). Artinya kedua ketentuan ini kontradiksi satu sama lain dan saling bertabrakan, perlu ada tafsir yang lebih jelas atas ketentuan dalam Pasal-pasal tersebut.

Tags:

Berita Terkait