Urgensi Ganti Kerugian Bagi Korban Salah Tangkap
Kolom

Urgensi Ganti Kerugian Bagi Korban Salah Tangkap

PP 27/983 yang kemudian direvisi melalui PP 58/2010, tidak menyentuh masalah substansial tentang ganti kerugian. Aspek yang diatur dalam PP No. 58/2010 tersebut hanya menyangkut syarat-syarat kepangkatan tanpa menyinggung tentang permasalahan ganti kerugian ini.

Bacaan 2 Menit

Sayangnya, penggunaan instrumen praperadilan guna menuntut ganti kerugian bagi korban salah tangkap belum begitu populer. Secara etimologis, penggalan “pra” pada kata “praperadilan” yang dapat dimaknai sebelum peradilan (pokok perkara) memang terkesan agak kurang relevan konteks gugatan ganti kerugian ini digunakan setelah ada putusan yang telah inkracht atas pokok perkara.

Konstruksi ini pernah digunakan dalam kasus LBH Mawar Saron Semarang dalam Perkara No. 49/Pid/2013/PT.SMG tertanggal 15 April 2013 jo. Putusan PN Semarang No. 15/Pid.GR/2012/PN.Smrg tertanggal 14 Januari 2013, dimana saat itu seorang kasir di sebuah karaoke di Semarang dituduh memperkerjakan anak di bawah umur dan kemudian ditahan selama 13 bulan di dalam penjara. Si Kasir kemudian dibebaskan melalui putusan Kasasi MA dan mengajukan permohonan praperadilan terhadap Kepolisian serta Kejaksaan untuk menuntut ganti kerugian kepada negara.

Lalu, Ada juga kasus LBH Mawar Saron Jakarta dalam Perkara No. 10/Pid.Prap/2014/PN.Jkt.Ut tertanggal 15 September 2014 seorang buruh yang dituduh terlibat dalam kasus pembunuhan berencana hanya berdasarkan keterangan seorang pelaku lainnya sehingga harus menjalani penyiksaan dan mendekam di dalam tahanan selama 251 hari sampai akhirnya Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan vonis bebas (vrijspraak) kepadanya.

Putusan bebas atas para terdakwa tersebut telah menguatkan posisi mereka selaku korban salah tangkap yang diambil secara paksa kebebasannya dengan adanya penahanan selama berbulan-bulan atas diri mereka, sehingga berbekal putusan bebas tersebut mereka kemudian mengajukan permohonan praperadilan ganti kerugian kepada negara yang dalam hal ini diwakili oleh Kepolisian dan Kejaksaan RI.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang  Pelaksanaan KUHAP (PP  27/1983), tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu tiga bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap. Sayangnya Pasal 9 PP 27/1983 hanya mengatur batas maksimal ganti kerugian sebesar Rp1 juta dan Rp3 juta bagi korban yang akibat salah prosedur tersebut menderita cacat bahkan sampai mati.

Pasal 9

  1. Ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP adalah berupa imbalan serendah-rendahnya berjumlah Rp 5.000,- (lima ribu rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah);
  2. Apabila penangkapan, penahanan dan tindakan lain sebagaimana dimaksud Pasal 95 KUHAP mengakibatkan yang bersangkutan sakit atau cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan atau mati, besarnya ganti kerugian berjumlah setinggi-tingginya Rp 3.000.000,- (tiga juta rupiah).

Permasalahannya, nominal senilai Rp1 juta tentunya tidak bisa diaplikasikan lagi pada zaman sekarang. Analoginya, dapat kita lihat misalnya pada PERMA Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyelesaian Batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dan Jumlah Denda dalam KUHP (Perma 2/2012), dimana Mahkamah Agung berpendapat bahwa nilai kerugian yang terdapat pada KUHP harus diatur kembali mengikuti perkembangan zaman yang dalam hal ini mengikuti perkembangan harga emas yang terus naik semenjak ditetapkannya KUHP sampai dengan sekarang.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait