Tony Budidjaja: Tanpa Mediasi Wajib, Putusan Hakim Bisa Batal Demi Hukum
Terbaru

Tony Budidjaja: Tanpa Mediasi Wajib, Putusan Hakim Bisa Batal Demi Hukum

Mahkamah Agung sudah mengagendakan sosialisasi Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan pada akhir Oktober ini. Perma 2008 ini menggantikan aturan serupa yang tertuang dalam Perma No. 2 Tahun 2003.

M-1/CRS
Bacaan 2 Menit

 

Bagaimana kalau di suatu daerah tidak ada mediator bersertifikat?

Mesti dibedakan antara mediasi di pengadilan berdasarkan Perma 2008 dengan mediasi di luar pengadilan. Katakanlah mediasi di pengadilan. Pasal 5 Perma 2008 menyebut pada asasnya mediator wajib memiliki sertifikat. Lalu, jika dalam wilayah sebuah pengadilan tidak ada hakim, advokat, akademisi hukum, dan profesi bukan hukum yang bersertifikat mediator, hakim di lingkungan pengadilan yang bersangkutan berwenang menjalankan fungsi mediator. Walaupun tidak punya sertifikat, hakim bisa berperan sebagai mediator.

 

Inilah pertanyaan saya juga, apakah SDM kita sudah siap menjadi mediator yang qualified dan kompeten. Kini kita punya mediasi wajib. Nyatanya, selama ini tidak gampang melahirkan mediator yang handal dan kompeten. Buat saya, untuk menjadi mediator yang qualified paling tidak ada 3K: kompetensi, komitmen, dan karakter.

 

Kompetensi dimiliki lewat pelatihan dan pendidikan. Sifatnya terus menerus. Mediator perlu meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengurus orang yang bersengketa, mau mempelajari kasusnya secara seksama, mau mendengar keluhan para pihak. Komitmen juga penting bagi mediator. Walaupun mediator punya kompetensi, dan punya komitmen, tapi dia harus punya karakter yang mendukung seperti sabar dan mau mendengar. Kalau karakter seperti itu tidak dimiliki ya susah jadi mediator. 3 K itu harus ada. Sekarang untuk kompetensi saja belum cukup banyak orang yang punya

 

Dibandingkan dengan jumlah kasus per tahun saya kira belum sebanding dengan jumlah mediator.  Juga, keberadaan para mediator, yang masih lebih banyak terkonsentrasi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Semarang.

 

Ada kalanya hakim sulit mengikuti pelatihan mediator karena persoalan waktu...

Pertanyaan seperti itu pernah terlontar dalam suatu forum yang dihadiri Ibu Susanti Adi Nugroho (hakim agung � red). Bagaimana kalau kondisi di suatu tempat tidak ada mediator bersertifikat. Jawabannya, kita lihat kasus per kasus. Kita jelaskan mengapa di Indonesia butuh sertifikat karena mereka mengkhawatirkan kemampuan pihak ketiga. Sertifikasi jadi semacam quality control. Kita punya jaminan bahwa si mediator punya paling tidak minimum requirement. Konsekuensinya, pasal 2 Perma 2008, pelanggaran karena tidak menempuh mediasi berdasarkan Perma, putusan batal demi hukum. Sebenarnya ini peluang bagi teman-teman yang berprofesi sebagai mediator. Mediasi diwajibkan dan perkara yang dimediasikan begitu. Itu kan peluang. Kalau saya sebenarrnya masih melihat dari idealismenya, ada semacam panggilan. Ada juga yang menyarankan kami secara resmi masuk ke pengadilan. Kalau itu, nantilah kami pikirkan karena sejauh ini kami dari IICT lebih sebagai trainer. Kita tidak mau ada konflik kepentingan karena kita mediator. Tapi kita butuh contoh mediator mana yang bisa menjalankan.  Sekarang banyak orang pasang papan nama atau label mediator, cuma apakah mereka siap menghadapi tantangan? Kan mesti diuji. Makanya cukup kompleks persoalannya. Kemauan masyarakat yang minim soal mediasi, dukungan prasarana juga minim, lembaga penyedia jasa mediasi belum benar-benar siap untuk memberikan jasa secara profesional

 

Berdasarkan pengamatan Anda selama ini, apa saja hambatan dalam mediasi?

Dukungan perangkat hukum juga perlu. Sejauh ini mediasi atau ADR baru diatur dalam UU No. 30/1999. Namun pengaturan  tentang ADR seperti mediasi masih minim. Yang dibutuhkan adalah pengakuan atau penghargaan terhadap kesepakatan yang diperoleh dari proses mediasi. Harus ada pengakuan atau penghargaan hukum atas kesepakatan mediasi. Jangan sampai masyarakat atau para pihak menghabiskan waktu dan biaya untuk mencapai kata sepakat, tetapi kesepakatannya tidak mendapat pengakuan atau penghargaan sebagaimana mestinya.  Masalahnya, sekarang pengadilan masih melihat kesepakatan yang dibuat di luar pengadilan tidak bisa langsung dieksekusi secara serta merta.  

 

Kalau ada pihak yang ingkar janji, mereka harus mengajukan gugatan ke pengadilan karena berdasarkan pasal 1888 KUH Perdata menyatakan bahwa perdamaian mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Artinya, putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sudah siap langsung dieksekusi. Tapi ketentuan ini prakteknya belum bisa dijalankan sebagaimana mestinya. UU No. 30/1999 sebenarnya menyebutkan kesepakatan bisa didaftarkan di pengadilan untuk keperluan eksekusi. Itu pun dalam praktek mengalami banyak hambatan. Banyak pengalaman menunjukkan para pihak mencoba mendaftar ke pengadilan, eh pengadilan malah bingung mengapa harus didaftarkan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: