Tony Budidjaja: Tanpa Mediasi Wajib, Putusan Hakim Bisa Batal Demi Hukum
Terbaru

Tony Budidjaja: Tanpa Mediasi Wajib, Putusan Hakim Bisa Batal Demi Hukum

Mahkamah Agung sudah mengagendakan sosialisasi Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan pada akhir Oktober ini. Perma 2008 ini menggantikan aturan serupa yang tertuang dalam Perma No. 2 Tahun 2003.

M-1/CRS
Bacaan 2 Menit

 

Untuk mengetahui lebih banyak latar belakang Perma No. 1 Tahun 2008 dan implikasinya terhadap penyelesaian sengketa di pengadilan, hukumonline mewawancarai Tony pada 18 September lalu di bilangan Jalan Sudirman Jakarta. Anggota Indonesian Mediators Association ini menjelaskan banyak hal seputar mediasi. Berikut petikannya:

 

Bagaimana pandangan Anda tentang Perma No. 1 Tahun 2008?

Perma No. 1/2008 ini muncul karena dirasakan Perma No. 2/2003 memiliki kelemahan, ada beberapa hal yang perlu penyempurnaan. Mulai tahun 2006 dibentuk satu tim working group untuk meneliti hal-hal yang perlu disempurnakan. Produk akhirnya adalah Perma 1/2008. Working group ini terdiri dari beberapa pihakmulai sektor kehakiman, advokat, maupun organisasi yang selama ini concern terhadap mediasi yaitu IICT (Indonesian Institute for Conflict Transformation), dan dari Pusat Mediasi Nasional (PMN). Selama ini memang dua organisasi ini yang paling utama dalam mediasi. Mereka sudah terlibat sejak tahun 2003, pada saat Perma No. 2/2003 (selanjutnya disebut Perma 2003- red) lahir. IICT dan PMN membantu mensosialisasikan mediasi dan Perma itu sendiri. Perma itu kan mediasi yang diterapkan di pengadilan, mediasi yang diadopsi oleh pengadilan.

 

Saya pribadi melihat terbitnya Perma 2008 ini sebagai suatu yang positif untuk membantu masyarakat, advokat, dan hakim untuk lebih memahami mediasi. Jadi kalau dibandingkan dengan Perma 2003, Perma 2008 memang lebih komprehensif. Jumlah pasal juga jauh lebih banyak dan coba lebih detail mengatur proses mediasi di pengadilan. Walaupun saya harus katakan bahwa yang lebih detail, yang lebih lengkap belum tentu lebih baik. Karena mediasi sebagai bagian dari salah satu penyelesaian sengketa merupakan proses yang seharusnya fleksibel memberikan ruangan besar kepada para pihak melakukan perundingan atau mediasi itu sendiri agar mencapai hasil yang diinginkan. Seringkali kalau pengaturannya rigid atau detail akan memberikan beban kepada para pihak. Itu kelemahannya kalau diatur lebih rigid dan detail.

 

Salah satu ketentuan menarik dari Perma 2008 adalah Pasal 2 ayat 3,  tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap 130 HIR yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. Ketentuan ini perlu diperhatikan. Jadi, memang perlu segera untuk mensosialisasikan perma ini ke berbagai pihak. Ini relatif baru. Memang, saya rasa, masih relatif banyak pihak belum terlalu paham mengenai Perma 2008. Belum tahu sama sekali ada Perma 2008 yang merupakan penyempurnaan dari Perma 2003. Langkah yang bagus Perma 2008 membuat mediasi menjadi dikenal dan proses mediasi diharapkan bisa semakin baik. Di sisi lain, perlu dibarengi dengan sosialisasi. Kalau tidak saya khawatir pelaksanaannya nanti.

 

Perma 2008 mencoba memberikan pengaturan yang lebih komprehensif, lebih lengkap, lebih detail sehubungan dengan proses mediasi di pengadilan. Diatur lebih detail, apa-apa yang harus dilakukan. Juga memberikan konsekuensi, memberikan sanksi bagi pelanggaran terhadap tata cara yang harus dilakukan, yaitu sanksi putusan batal demi hukum. Jadi kalau Perma 2003 tidak memberikan sanksi, Perma 2008 memberikan sanksi. Kalau 2003 dianggap banyak aspek yang tidak diatur terutama mediasi di tingkat banding, kasasi, pada Perma 2008 diatur kemungkinan mengenai hal itu.

 

Apa lagi perubahan mendasar Perma 2003 menjadi Perma 2008?

Selain sanksi itu, ada juga pasal 4 yang bisa disebut perubahan mendasar, yakni batasan perkara apa saja yang bisa dimediasi. Itu merupakan perubahan cukup penting, walaupun menurut saya ukurannya masih tergolong cukup luas. Belum ada kriteria yang lebih spesifik, perkara mana yang  bisa dimediasi. Pendekatan Perma ini adalah pendekatan yang sangat luas. Dalam Perma ini, semua perkara selama tidak masuk dalam yang dikecualikan, itu diharuskan untuk menempuh mediasi. Kewajiban mediasi cukup luas. Para pihak diwajibkan untuk mediasi untuk perkara-perkara sepanjang tidak dikecualikan dalam pasal 4 yaitu pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas keputusan BPSK, dan keberatan atas keputusan KPPU. Semua sengketa perdata wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Jadi dia tidak melihat pada nilai perkara, tidak melihat apakah perkara ini punya kesempatan untuk diselesaikan melalui mediasi atau tidak, motivasi para pihaknya apa, iktikad para pihak mengajukan perkara itu apa, apa para pihak punya sincerity, artinya kemauan atau ketulusan hati untuk bermediasi atau tidak. Tidak menjadi persoalan berapa banyak pihaknya, atau pihaknya ada dimana. Jadi, pendekatannya sangat luas.

 

Selain itu, peran mediator di pasal 5 ditegaskan. Ada kewajiban bagi setiap orang yang menjalankan fungsi mediator untuk memiliki sertifikat. Nanti kita lihat positif atau negatif. Tapi paling tidak, di sini spiritnya, digunakan kata-kata, asasnya wajib memiliki. Kuncinya ada di pasal 2, kalau tidak mengikuti prosedur berarti batal demi hukum. Yang jadi masalah adalah apakah SDM kita cukup. Apakah mediator-mediator yang qualified atau memenuhi kualifikasi sudah cukup tersedia di Indonesia. Jangan cuma lihat Jakarta saja. Di Jakarta pun bisa jadi belum cukup.

Tags: