Tony Budidjaja: Tanpa Mediasi Wajib, Putusan Hakim Bisa Batal Demi Hukum
Terbaru

Tony Budidjaja: Tanpa Mediasi Wajib, Putusan Hakim Bisa Batal Demi Hukum

Mahkamah Agung sudah mengagendakan sosialisasi Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan pada akhir Oktober ini. Perma 2008 ini menggantikan aturan serupa yang tertuang dalam Perma No. 2 Tahun 2003.

M-1/CRS
Bacaan 2 Menit

 

Apa implikasi luasnya perkara yang bisa dimediasi?

Upaya mediasi wajib ini harus dilakukan dengan hati-hati. Ini untuk mencegah penyalahgunaan oleh pihak yang tidak beriktikad baik. Sistim pengadilan sekarang banyak dikeluhkan memberikan kesempatan bagi pihak yang beriktikad tidak baik untuk mengajukan perkara atau gugatan yang tidak cukup kuat kepentingan hukumnya atau alas haknya. Tujuannya hanya untuk mengganggu atau merepotkan pihak lain. Saya tidak mau mediasi wajib ini menambah peluang bagi pihak-pihak seperti itu memberatkan pihak lain. Mediasi wajib akan berakibat proses berperkara di pengadilan semakin panjang karena ada prosedur yang wajib ditempuh. Bukankah mediasi bagian dari alternatif penyelesaian sengketa yang harusnya dilakukan voluntir? Karena kesuksesan mediasi sangat tergantung pada kemauan atau keinginan para pihak. Kalau mereka tidak mempunyai keinginan atau kemauan bermediasi apa gunanya dipaksa? Ada orang bilang we can bring the horse to the water but we cannot force the horse to drink. Ini buat mereka yang tidak setuju pada mediasi wajib. Tapi bagi mereka yang setuju dengan mediasi wajib, mereka bilang betul kita tidak bisa memaksa kuda iuntuk minum, tapi if you do it, it usually does drink. Kita bawa kuda ke sana, ada kalanya, atau kadang-kadang, kuda itu akan minum juga. Jadi, selama itu bukan hal yang merugikan, ya tidak ada salahnya dicoba. Yang harus kita perhatikan adalah waktu. Kalau untuk sengketa-sengketa bisnis, semakin panjang waktu yang terbuang merupakan salah satu hal yang perlu diperhitungkan. Apalagi kalau mereka hire lawyer yang men-charge-nya per jam. Semakin panjang kan semakin buat beban. Harus diakui, sistim peradilan kita masih unpredictable, sangat sulit diperhitungkan mengenai batas waktunya, mengenai kapan suatu perkara selesai.

 

Kadang kita dapat pertanyaan, kapan sih perkara ini akan selesai? Kita tidak tahu. Kalau kita pikir, setelah putusan di MA maka perkara sudah selesai kan tidak juga, banyak yang mengajukan PK. Apakah PK menyelesaikan masalah? Seringkali tidak juga, sering mereka protes, coba melawan, gugatan balik atau melakukan upaya perlawanan atas eksekusi. Kita harus hati-hati dalam menerapkan mediasi wajib, kriteria perkara yang perlu diajukan kepada mediasi atau yang perlu diwajibkan, menurut saya perlu diberikan kriteria yang lebih spesifik. Saya termasuk yang setuju pada mediasi wajib tapi kriteria perkaranya perlu dibuat lebih spesifik. Batasannya diperjelas. Apa yang salah dengan pengadilan niaga? Pengadilan PHI? Kalau PHI, kita masih bisa terima di akal karena sebelum masuk ke PHI ada mediasi wajib sebelum perkara sampai ke PHI. Tapi bagaimana dengan di pengadilan niaga? Pengadilan niaga kan punya kewenangan atas perkara haki, hak cipta, paten, merek. Itu kan perkara bisnis yang punya peluang yang sama untuk dimediasi. Apakah karena hakim terjepit waktu harus memutus dalam waktu sekian hari, lalu mediasi dikorbankan?  

 

Menurut saya, seharusnya kriteria perkara yang dapat dimediasikan juga harus dipertegas, dipersempit, diperjelas. Kalau tidak, akan menjadi beban hakim mediator dan beban bagi para pihak sendiri. Sebab, mereka harus menempuh proses mediasi wajib, minimal harus menyisihkan waktu dan biaya untuk menempuh mediasi. Waktu dan biaya itu tidak bisa dilepaskan, saling bergantung. Kalau batasan-batasannya apa, itu memang harus dilakukan penelitian dengan seksama, sesuai peradilan kita. Misalnya apakah ada keharusan para pihak membuat komitmen untuk berkooperasi karena negosiasi atau mediasi baru akan efektif kalau mereka mau menunjukkan sikap bekerjasama.  

 

Mereka komit mau menempuh mediasi. Bukan berarti harus setuju dengan apa yang dicapai, tapi mereka sincere mau. Kalau dari awal mereka tidak ada sincerity untuk ikut, apa gunanya? Itu akan membuat proses akan menjadi panjang. Itu hanya contoh. Menurut saya, itu harusnya lahir dari suatu penelitian, diteliti dulu kondisi Indonesia bagaimana. Saya kuatir karena sekarang saja kita belum bisa mengatasi persoalan penyalahgunaan sistim peradilan, gugatan-gugatan yang asal, yang tidak serius, yang ngawur, buat ngerepotin pengadilan, pihak yang digugat, kemudian ditambah lagi dengan adanya mediasi wajib. Bayangkan pihak yang digugat, bagaimana mereka harus mengorbankan banyak waktu, biaya untuk hal seperti ini.

 

Jadi, dasarnya adalah sincerity para pihak?

Iya. Orang itu harus sincere. Kalau dia tidak sincere, punya kemauan untuk berpartisipasi, datang atau bahkan tidak mau datang untuk bermediasi, kasihan karena biaya pemanggilan sudah keluar. Pihak lawan juga sudah datang. Komitmen untuk berpartisipasi seharusnya muncul dari awal. Jadi sudah ditentukan mediasi itu wajib atau tidak. Kalau dari awal mereka tidak mau, bisa dipertimbangkan bahwa itu bukan hal yang diwajibkan. Tapi dilemanya di situ. Ada kekhawatiran, orang kita kalau tidak dipaksa susah, sehingga pendekatannya harus hati-hati.

 

Apakah dengan mediasi wajib menjadikan kualitas mediasi menurun. Jadi, semacam formalitas belaka?

Pada tahun 2003, kita jumpai banyak kejadian seperti itu. Banyak pihak menggunakan mediasi karena tuntutan dari Perma. Seperti formalitas yang belum ada sanksinya. Sekarang juga bisa masuk ke jebakan yang sama. Mereka mengikuti proses mediasi bukan karena keinginan hati, bukan karena mereka melihat ada peluang baik dari mediasi, atau mereka melihat ada keuntungan dari mediasi. Tetapi lebih karena kekhawatiran putusan mereka akan batal demi hukum apabila tidak mengikuti proses mediasi sebelumnya. Sangat mungkin kualitas menurun karena sekarang saja pemahaman masyarakat mengenai mediasi relatif masih kurang baik. Mereka kurang memahami apa itu nature mediasi, dan apa manfaatnya. Banyak masyarakat yang memahami mediasi sekedar bertemu dengan pihak ketiga sebagai mediator tapi mereka tidak melihat ada manfaat lebih dari mediasi. Jadi pemahaman mengenai mediasi itu penting. Seharusnya itu lebih awal dilakukan sebelum memberikan kewajiban. Tapi kita terbalik. Harusnya, mereka sudah paham, tuntutan masyarakat akan mediasi diatur lebih tinggi maka pengadilan memfasilitasi. Ya sudah mediasi diatur supaya mengakomodasi kebutuhan masyarakat. Tapi saat ini, masyarakat belum ada kebutuhan mendesak sebenarnya. Belum ada. Bahkan kebanyakan masyarakat kita belum terlalu paham mengenai mediasi, tapi sudah dipaksakan dulu. Bahkan pada Perma 2003, saya masih jumpai, banyak orang, bahkan lawyer atau non lawyer komplain mengapa harus mediasi karena akan buang biaya dan waktu. Saya sebenarnya juga ingin tahu reaksi dari lawyer. Saya ingin tahu apakah mereka merasa terbantu atau merasa semakin terbebani dengan perma ini.

 

Apakah dalam pengalaman selama ini, Anda merasa terbantu?

Seharusnya tujuannya untuk membantu. ADR, termasuk mediasi, kan tujuannya untuk membantu menyelesaian sengketa. Termasuk alternatif yang worth, Worthy alternative buat para pihak di samping litigasi. Filosofi ADR adalah untuk membantu, bukan untuk membebani. Bisa membantu kebutuhan atau kepentingan para pihak. Kalau membebani, justru akan bertentangan. Kalau litigasi itu memang strict, ada kewajiban yang harus diikuti dan demikian juga dengan arbitrase. Tapi ADR atau mediasi itu tujuannya untuk membantu. Dikembalikan lagi ke sini apakah akan membantu para pihak atau justru akan semakin membebani para pihak. Karena ada kewajiban bagi para pihak termasuk lawyer untuk memahami perma ini, pasal demi pasal yang cukup banyak. Sebanyak 27 pasal itu harus dipahami karena pelanggaran terhadap ketentuan ini berakibat putusan batal demi hukum. Ini jadi beban bagi mereka. Sebenarnya waktu itu ada opsi Perma tidak perlu terbit. Perma cukup mengatur ada kewajiban untuk mediasi, misalnya, tata caranya diatur terpisah, waktu gampang disesuaikan. Seperti peraturan pelaksana. Yang terjadi malah peraturan pelaksana dimasukkan ke dalam Perma ini dan kemudian diwajibkan juga. Mediasi yang harusnya volunteer, fleksibel dibuat begitu rigid, atau kaku bahkan pelanggaran berakibat putusan batal demi hukum. Ini yang harus diwaspadai. Diatur secara cukup rigid tentang tata caranya dan sanksinya. Kita lihat saja nanti reaksi masyarakat seperti apa. Saya duga pasti ada yang keberatan. Pasti ada pro dan kontra, ya tidak apa-apa. Indonesia kan seperti itu, lakukan dulu tanpa penelitian yang benar, kalau salah nanti kita perbaiki. Tambah kerjaan lagi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: