Titik Nadir Pengawasan Terhadap KPPU
Oleh: Hendra Setiawan Boen *)

Titik Nadir Pengawasan Terhadap KPPU

Harian Bisnis Indonesia minggu lalu memuat artikel dengan yang membahas praktek KPPU yang kerap menggunakan media sebagai sarana membentuk opini publik terhadap pelaku usaha yang diduga melanggar Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli).

Bacaan 2 Menit
Titik Nadir Pengawasan Terhadap KPPU
Hukumonline

 

Tidak ada satu pasalpun di dalam UU Anti Monopoli yang memperbolehkan KPPU melakukan intepretasi berbeda terhadap bunyi pasal-pasal dalam undang-undang tersebut selain yang ditetapkan. Akan tetapi, beberapa waktu belakangan, KPPU telah bertindak seolah mereka merupakan badan quasi parlemen, ketika KPPU membatalkan Pasal 28 ayat (3) jo. Pasal 50a jo. Pasal 50b UU Anti Monopoli.

 

Pasal 28 ayat (3) mengatur bahwa ketentuan mengenai penggabungan, pengambilalihan atau peleburan badan usaha yang dilarang UU Anti Monopoli akan diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP). Ketika PP dimaksud tidak juga diterbitkan, KPPU berinisiatif menerbitkan peraturan komisi pengganti Peraturan Pemerintah tersebut yang mewajibkan pra-notifikasi kepada KPPU sebelum pelaku usaha melakukan penggabungan, peleburan ataupun pengambilalihan. KPPU juga membuat pedoman terhadap masalah yang sebenarnya dikecualikan dari UU Anti Monopoli, bahkan bagian penjelasan Pasal 50a jo. 50b menyatakan cukup jelas. Berarti sudah tidak ada makna sesungguhnya di balik pasal tersebut, sebagaimana dalil KPPU untuk menjustifikasi pembuatan pedoman-pedoman tersebut.

 

Dalam mengemban tugas mulianya menegakkan UU Anti Monopoli, kekuasaan KPPU bersifat absolut, monopolistik serta berposisi dominan, sehingga mampu berbuat apa saja, tanpa ada yang dapat dilakukan pihak lain untuk menghentikan.

 

Power tends to corrupt. Absolute power corrupt absolutely. Ungkapan Lord Acton ini masih relevan sampai sekarang. Ketiadaan pengawasan terhadap sebuah lembaga atau badan yang diberi kewenangan sangat besar memiliki kecenderungan disalahgunakan. Seperti halnya kasus yang menimpa salah satu komisioner KPPU, M. Iqbal yang dinyatakan bersalah menerima suap dari Billy Sindoro terkait sebuah perkara yang diputus KPPU baru-baru ini.

 

KPPU sangat beruntung, apabila kasus suap M. Iqbal terjadi di negara lain, di Amerika misalnya, maka selayaknya semua putusan KPPU yang diperiksa oleh yang bersangkutan dapat dinyatakan cacat dan harus dibatalkan. Kenapa? Karena menimbulkan pertanyaan apakah terdapat kesalahan serupa di dalam putusan KPPU lain yang melibatkan terdakwa. Belum lagi pertanyaan, apakah masih ada putusan KPPU lain yang merupakan pesanan pihak ketiga?

 

UU Anti Monopoli memiliki kekurangan di sana sini yang harus ditambal segera. Karena pelaku usaha di Indonesia jelas membutuhkan iklim kepastian berusaha, sungguh tidak adil apabila pelaku usaha sudah menanamkan modal begitu besar, dan sudah berupaya mengikuti prosedur yang ditetapkan, bahkan mendapatkan ijin dari pejabat berwenang, namun kemudian diputus bersalah oleh sebuah putusan lembaga yang memutus tidak berdasarkan due process of law.

 

Kekurangan lain adalah ketiadaan pengawasan terhadap pengemban UU Anti Monopoli, yaitu KPPU. Selain alasan-alasan yang sudah penulis uraikan sebelumnya, salah satu yang paling utama adalah, jangan sampai KPPU menjadi agen bagi masuknya sistem hukum negara lain yang belum tentu sesuai dengan falsafah serta hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.

 

Kita harus mengingat bagaimana proses masuknya UU Anti Monopoli ke dalam sistem hukum Indonesia, apakah ketika UU Anti Monopoli diundangkan, memang ada urgensi atas desakan masyarakat Indonesia, ataukah UU Anti Monopoli masuk karena desakan pihak asing? Faktanya UU Anti Monopoli adalah pesanan IMF, yang bermaksud membuka peluang usaha yang seluas-luasnya bagi pelaku usaha dari negara asing di Indonesia. Salah satu agenda untuk memuluskannya adalah mengubah struktur peraturan perundang-undangan di Indonesia demi mengakomodasi kepentingan pelaku usaha asing tersebut.

 

Dari pengamatan penulis selama ini, sepertinya KPPU menginginkan negara berperan seminimal mungkin dalam perekonomian, misalnya keinginan KPPU agar Public Service Obligation diberikan kepada pengusaha, dengan demikian mencabut monopoli jasa kurir yang dilakukan PT. Pos Indonesia (Bisnis Indonesia, 11 Juni 2009). Atau ketika KPPU mewajibkan BUMN melakukan pra-notifikasi terhadap BUMN yang akan melakukan merger, karena dianggap BUMN sebagai pelaku usaha (Bisnis Indonesia 9 Juni 2009). Padahal keputusan bisnis BUMN melakukan merger adalah bagian kebijakan pemerintah di bidang perekonomian, misalnya rencana pembentukan super holding BUMN untuk memperkuat perekonomian nasional agar dapat bersaing dengan perusahaan multinasional negara lain. Sehingga dalam hal ini, posisi dominan dari BUMN berasal dari ketentuan menjalan peraturan perundang-undangan, sehingga berdasarkan Pasal 50a dikecualikan dari UU Anti Monopoli.

 

Pandangan KPPU agar negara berperan seminimal mungkin dalam membentuk kebijakan ekonomi nasional sangat identik dengan paham neo-liberalisme yang diusung oleh IMF. Dengan adanya dominasi asing dalam masuknya UU Anti Monopoli, yang notabene langsung berkaitan dengan agenda liberalisasi dunia yang dicanangkan negara-negara pendonor IMF, maka tidak mengherankan apabila suatu saat ditemukan agenda KPPU yang bertabrakan dengan falsafah dan jiwa hidup bangsa Indonesia, terutama di bidang hukum. Kenyataannya, sering dalam menegakan UU Anti Monopoli, KPPU menggunakan segala teori dari antah berantah yang tidak diatur di Indonesia, misalnya penggunaan teori single economic entity.

 

Fakta adanya unsur pemikiran hukum asing dalam pembentukan pola berpikir dan bertindak KPPU nyata dalam penggunaan teori hukum dari Amerika dalam menafsirkan UU Anti Monopoli, sebagaimana tampak dalam pedoman Pasal 5 tentang penetapan harga yang ditafsirkan secara per se illegal. Teori rule of reason dan per se illegal bukan berasal dari khazanah hukum Indonesia, dan tidak ditemukan dasar penggunaannya dalam UU Anti Monopoli.

 

Pada akhirnya, penulis berpendapat bahwa UU Anti Monopoli kita sudah saatnya dilakukan revisi supaya menghilangkan semangat liberalisme di dalamnya dan memasukan paham anti monopoli yang sesuai dengan nilai-nilai bangsa kita sendiri. Karena pada dasarnya, rezim individualistik dan monopolistik bertolak belakang dengan karakter masyarakat Indonesia yang bersifat komunal dan menghargai kehidupan harmonis dengan sesama dan tidak menyukai adanya orang yang terlalu mementingkan diri sendiri.

 

Semangat neo-liberalisme yang terkandung dalam UU Anti Monopoli saat ini adalah semangat bahwa semua bidang usaha harus dibuka seluas-luasnya kepada pelaku usaha, falsafah ini jelas tidak cocok diterapkan di Indonesia, karena dengan demikian hanya pemilik modal besar yang akan menikmati persaingan ekonomi. Harus ada pembatasan tegas bahwa untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas, negara masih memiliki kewenangan untuk melakukan monopoli di bidang tertentu, misalnya di bidang distribusi sembako, dan sebagainya.

 

Selain perlunya pencabutan semangat liberalisme dalam UU Anti Monopoli, pembatasan yang jelas dan tegas akan kewenangan KPPU juga harus diberikan, agar tidak ada kesimpangsiuran mengenai kewenangan KPPU dalam menafsirkan UU Anti Monopoli. Batasan untuk menentukan sejauhmana penafsiran boleh dilakukan, dan apakah secara ex officio dapat membatalkan dan mengubah UU Anti Monopoli tanpa bantuan parlemen dan Mahkamah Konstitusi.

 

Kemudian, perlu dibuat mekanisme pengawasan terhadap setiap anggota komisioner KPPU, dengan demikian, kemandirian KPPU tidak dapat diartikan sebagai kebebasan tidak terkendali, melainkan KPPU hanya mendapat kewenangan dari negara untuk menegakkan UU Anti Monopoli sesuai dengan batas-batas yang diberikan.

 

Terakhir, dan yang paling penting, pengawasan terhadap anggota KPPU juga dimaksudkan agar potensi kasus suap yang menimpa komisioner KPPU tidak terjadi lagi. Kali ini suap tersebut hanya untuk memasukan klausula injunction, apakah ada jaminan di kemudian hari KPPU tidak akan dimanfaatkan pelaku usaha untuk mengambil ceruk pasar saingannya? Sehingga mencegah adanya ironi bahwa KPPU justru dimanfaatkan sebagai sarana melakukan persaingan usaha secara tidak sehat.

 

-----

Penulis adalah kolumnis, tinggal di Jakarta.

Tindakan ini tidak seharusnya dilakukan. Bahkan bisa dikatakan melanggar kode etik KPPU sendiri yang melarang anggota KPPU membuka informasi ke publik, kode etik mana saat ini telah dicabut oleh KPPU.

 

Ketidaketisan KPPU mengumbar informasi dan fakta di media bertambah manakala kita menyadari bahwa terhadap putusan KPPU, pelaku usaha yang dinyatakan bersalah dapat mengajukan keberatan ke pengadilan negeri. Lalu, KPPU akan masuk menjadi pihak dalam pemeriksaan perkara keberatan dan berusaha mempertahankan substansi putusannya tersebut.   Di sini, berarti KPPU mempunyai benturan kepentingan dalam usaha membentuk opini publik, yaitu agar publik mendukung putusan KPPU. Siapapun tahu, salah satu dari anggota masyarakat yang termakan propaganda KPPU adalah calon majelis hakim yang akan memeriksa perkara keberatan pelaku usaha.

 

Sebagai perbandingan, di Amerika, supaya tidak mempengaruhi pendapat para calon juri, hakim dapat memerintahkan agar para pihak yang berperkara tidak mengeluarkan pendapat di publik, yang disebut sebagai gag order. Perintah itu di bawah ancaman sanksi apabila dilanggar. Ketentuan ini memperlihatkan dalam proses pengadilan, seseorang tidak boleh dinyatakan bersalah berdasarkan opini yang berkembang di masyarakat, tetapi harus melalui fakta yang ditemukan dalam proses persidangan.

 

Bagi para pihak yang bersengketa, mungkin wajar melakukan praktek membentuk opini publik sebagai salah satu bentuk strategi pembelaan, karena mereka memang memiliki kepentingan. Akan tetapi bila dilakukan oleh badan quasi yudisial seperti KPPU? Sebagai lembaga yang harus memutus perkara berdasarkan fakta yang ditemukan selama pemeriksaan dan sebagai lembaga mandiri dan imparsial, sebenarnya KPPU tidak memerlukan strategi apapun untuk memutus perkara yang ditanganinya.

 

Harus diakui, kekuasaan KPPU sangat besar, bahkan lebih besar dibandingkan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bayangkan saja, selama ini KPPU bertindak selaku penyelidik, penyidik, penuntut dan hakim dalam memutus sebuah perkara dugaan pelanggaran UU Anti Monopoli. Bandingkan dengan kewenangan KPK yang hanya dapat melakukan penyidikan dan penuntutan. Tentu saja, praktek pengadilan ala KPPU sangat mencederai prinsip due procees of law. Netralitas KPPU dalam memutus perkara patut dipertanyakan, karena Komisi ini memiliki kepentingan untuk mewujudkan tuntutan yang mereka ajukan terhadap pelaku usaha.

Halaman Selanjutnya:
Tags: