Titik Nadir Pengawasan Terhadap KPPU
Oleh: Hendra Setiawan Boen *)

Titik Nadir Pengawasan Terhadap KPPU

Harian Bisnis Indonesia minggu lalu memuat artikel dengan yang membahas praktek KPPU yang kerap menggunakan media sebagai sarana membentuk opini publik terhadap pelaku usaha yang diduga melanggar Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli).

Bacaan 2 Menit

 

Kita harus mengingat bagaimana proses masuknya UU Anti Monopoli ke dalam sistem hukum Indonesia, apakah ketika UU Anti Monopoli diundangkan, memang ada urgensi atas desakan masyarakat Indonesia, ataukah UU Anti Monopoli masuk karena desakan pihak asing? Faktanya UU Anti Monopoli adalah pesanan IMF, yang bermaksud membuka peluang usaha yang seluas-luasnya bagi pelaku usaha dari negara asing di Indonesia. Salah satu agenda untuk memuluskannya adalah mengubah struktur peraturan perundang-undangan di Indonesia demi mengakomodasi kepentingan pelaku usaha asing tersebut.

 

Dari pengamatan penulis selama ini, sepertinya KPPU menginginkan negara berperan seminimal mungkin dalam perekonomian, misalnya keinginan KPPU agar Public Service Obligation diberikan kepada pengusaha, dengan demikian mencabut monopoli jasa kurir yang dilakukan PT. Pos Indonesia (Bisnis Indonesia, 11 Juni 2009). Atau ketika KPPU mewajibkan BUMN melakukan pra-notifikasi terhadap BUMN yang akan melakukan merger, karena dianggap BUMN sebagai pelaku usaha (Bisnis Indonesia 9 Juni 2009). Padahal keputusan bisnis BUMN melakukan merger adalah bagian kebijakan pemerintah di bidang perekonomian, misalnya rencana pembentukan super holding BUMN untuk memperkuat perekonomian nasional agar dapat bersaing dengan perusahaan multinasional negara lain. Sehingga dalam hal ini, posisi dominan dari BUMN berasal dari ketentuan menjalan peraturan perundang-undangan, sehingga berdasarkan Pasal 50a dikecualikan dari UU Anti Monopoli.

 

Pandangan KPPU agar negara berperan seminimal mungkin dalam membentuk kebijakan ekonomi nasional sangat identik dengan paham neo-liberalisme yang diusung oleh IMF. Dengan adanya dominasi asing dalam masuknya UU Anti Monopoli, yang notabene langsung berkaitan dengan agenda liberalisasi dunia yang dicanangkan negara-negara pendonor IMF, maka tidak mengherankan apabila suatu saat ditemukan agenda KPPU yang bertabrakan dengan falsafah dan jiwa hidup bangsa Indonesia, terutama di bidang hukum. Kenyataannya, sering dalam menegakan UU Anti Monopoli, KPPU menggunakan segala teori dari antah berantah yang tidak diatur di Indonesia, misalnya penggunaan teori single economic entity.

 

Fakta adanya unsur pemikiran hukum asing dalam pembentukan pola berpikir dan bertindak KPPU nyata dalam penggunaan teori hukum dari Amerika dalam menafsirkan UU Anti Monopoli, sebagaimana tampak dalam pedoman Pasal 5 tentang penetapan harga yang ditafsirkan secara per se illegal. Teori rule of reason dan per se illegal bukan berasal dari khazanah hukum Indonesia, dan tidak ditemukan dasar penggunaannya dalam UU Anti Monopoli.

 

Pada akhirnya, penulis berpendapat bahwa UU Anti Monopoli kita sudah saatnya dilakukan revisi supaya menghilangkan semangat liberalisme di dalamnya dan memasukan paham anti monopoli yang sesuai dengan nilai-nilai bangsa kita sendiri. Karena pada dasarnya, rezim individualistik dan monopolistik bertolak belakang dengan karakter masyarakat Indonesia yang bersifat komunal dan menghargai kehidupan harmonis dengan sesama dan tidak menyukai adanya orang yang terlalu mementingkan diri sendiri.

 

Semangat neo-liberalisme yang terkandung dalam UU Anti Monopoli saat ini adalah semangat bahwa semua bidang usaha harus dibuka seluas-luasnya kepada pelaku usaha, falsafah ini jelas tidak cocok diterapkan di Indonesia, karena dengan demikian hanya pemilik modal besar yang akan menikmati persaingan ekonomi. Harus ada pembatasan tegas bahwa untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas, negara masih memiliki kewenangan untuk melakukan monopoli di bidang tertentu, misalnya di bidang distribusi sembako, dan sebagainya.

 

Selain perlunya pencabutan semangat liberalisme dalam UU Anti Monopoli, pembatasan yang jelas dan tegas akan kewenangan KPPU juga harus diberikan, agar tidak ada kesimpangsiuran mengenai kewenangan KPPU dalam menafsirkan UU Anti Monopoli. Batasan untuk menentukan sejauhmana penafsiran boleh dilakukan, dan apakah secara ex officio dapat membatalkan dan mengubah UU Anti Monopoli tanpa bantuan parlemen dan Mahkamah Konstitusi.

Tags: