Tanggung Jawab In-House Counsel dalam Bisnis Hulu Migas, Perlukah Amicus Curiae?
Kolom

Tanggung Jawab In-House Counsel dalam Bisnis Hulu Migas, Perlukah Amicus Curiae?

Dalam praktik tidak sedikit legal opinion yang dibuat dikesampingkan manajemen perusahaan. Karenanya, legal counsel tidak bisa serta merta dibebani tanggung jawab terhadap keputusan perusahaan akibat opini atau advice yang dibuatnya. Dengan begitu, keputusan manajemen yang sejalan atau tidak sejalan dengan legal opinion tetap menjadi tanggung manajemen yang berwenang mewakili perusahaan.

Bacaan 7 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Belakangan ini kalangan praktisi ataupun akademisi hukum lagi ramai membicarakan kasus yang dialami Kenny Wisha Sonda (selanjutnya disingkat KWS). Ia seorang penasihat hukum internal (in house legal counsel) sebuah Bentuk Usaha Tetap (sebuah badan usaha yang didirikan di luar yurisdiksi hukum Indonesia) yang menjadi operator kegiatan usaha hulu migas di Sulawesi Selatan bermitra dengan salah satu Badan Usaha (berbentuk PT) yang didirikan di Indonesia.

KWS saat ini sedang menjalani rangkaian sidang perkara pidana yang dengan dakwaan Penggelapan (Pasal 372 KUHP jo 55 ayat (1) ke-1 KUHP). KWS dilaporkan oleh mitra perusahaannya karena KWS telah memberikan opini hukum (advice) kepada Manajemen dimana dia bekerja untuk tidak mendistribusikan pendapatan kepada mitranya. Sebab, menurut KWS: berdasarkan perjanjian yang dibuat oleh perusahaan dimana KWS bekerja dengan mitranya ini selama pinjaman kepada pihak ketiga belum lunas, maka pendapatan hasil operasi produksi migas mereka tidak dapat diberikan terlebih dahulu kepada mitranya. Hal ini inilah yang membuat mitranya tidak terima, sehingga akhirnya KWS dituduh melakukan penggelapan.

Baca Juga:

Memenuhi permintaan pendapat saya terkait kasus ini dari banyak teman/kolega seprofesi, maka saya menulis artikel ini, namun mengingat kasus ini masih sedang berjalan/masih berproses di pengadilan, saya tidak akan ikut masuk ke dalam analisa pokok perkaranya, biarlah penasihat hukum ataupun jaksa saja yang memberikan penjelasan kepada publik terkait dengan substansi perkara tersebut. Namun sebagai seorang yang berprofesi sebagai praktisi hukum di bidang migas (bidang yang sama dengan yang ditekuni oleh KWS, maupun legal counsel perusahaan mitranya), maka tidak ada salahnya berbagi opini/pendapat sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan sependek yang saya miliki.

Kegiatan Hulu Migas Sarat dengan Aspek Hukum

Kegiatan Usaha Hulu Migas di Indonesia yang utamanya diatur oleh UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang telah diuji materi melalui Putusan MK No. 36/PUU-X/2012 dan PP No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas merupakan kegiatan usaha yang sifatnya unik (lex specialis) karena tidak sama skemanya dengan kegiatan-kegiatan usaha eksplorasi dan eksplotasi sumber daya alam lainnya. Kegiatan Usaha Hulu Migas (KUHM) tunduk pada “rezim hukum kontrak”, bukan rezim hukum perizinan, sehingga dalam kegiatan usaha hulu migas pemerintah (sebagai pemegang kuasa pertambangan sesuai konsep hak menguasai negara yang diatur dalam konstitusi/UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 posisinya mewakili rakyat Indonesia) membuat kontrak dengan mitra kerja sama yang disebut dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Kontrak Kerja Sama yang lazimnya berlaku hingga saat ini berlaku adalah Kontrak Kerja Sama Bagi Hasil yang lazim disebut Production Sharing Contract (PSC).

Dalam PSC ini, Pemerintah Indonesia diwakili oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) yang berkontrak dengan satu atau lebih perusahaan yang didirikan sebagai badan usaha Indonesia dan atau perusahaan yang didirikan di luar Indonesia (disebut sebagai Bentuk Usaha Tetap) yang kemudian disebut dengan mereka ini disebut sebagai KKKS. Bila perusahaan yang berkontrak dengan SKK Migas ini lebih dari satu, maka diantara mereka akan memiliki/mengikatkan diri dalam suatu “Perjanjian” tersendiri yang lazim disebut dengan “Joint Operation Agreement (JOA)”. Berdasarkan JOA ini mereka membagi “Participating Interest (PI)” untuk digunakan sebagai dasar membagi kewajiban penyetoran dana (cash call), membagi risiko, dan sekaligus membagi penerimaan dari hasil operasi dan produksi migasnya. JOA ini merupakan “urusan dapur” diantara mitra yang berkontrak dengan SKK Migas. Dengan kata lain, SKK Migas (Pemerintah) tidak turut campur urusan dapur mereka selama mereka taat/patuh memenuhi program kerja dan anggaran, serta komitmen-komitmen kontraktual lainnya kepada SKK Migas sesuai PSC.  

Pada skema PSC ini seluruh modal untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi disediakan oleh mitra (KKKS), namun seluruh aset yang dibeli oleh KKKS statusnya adalah barang milik negara, sehingga tidak dapat dimiliki, dijual, diagunkan atau dilakukan perbuatan hukum apapun oleh KKKS meskipun mereka telah mengadakan aset-aset tersebut.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait