Tanggung Jawab Direksi untuk Memanggil dan Menyelenggarakan RUPS
Oleh: Hendra Setiawan Boen *)

Tanggung Jawab Direksi untuk Memanggil dan Menyelenggarakan RUPS

Dalam konsep fiduciary duty, seorang direksi bertanggung jawab terhadap perseroan, bukan pada satu organ perseroan.

Bacaan 2 Menit

 

Salah satu kasus menarik mengenai perbedaan pendapat mengenai hubungan fiduciary duty dan RUPS luar biasa adalah Penetapan Pengadilan Negeri Padang                         No. 124/Pdt/P/2002/PN.Pdg tertanggal 7 September 2002. Sebuah kasus antara pemegang saham PT Semen Padang dengan direksi PT Semen Padang yang sempat menjadi perbincangan hangat di Indonesia.

 

Secara singkat kasus di atas dapat diceritakan bahwa pemegang saham ingin mengganti seluruh anggota direksi PT Semen Padang, karenanya mereka menginginkan diadakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB). Sementara direksi menolak untuk mengadakan RUPS-LB. Pemegang saham, yang memegang 99,99 % saham perseroan lalu mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri Padang berdasarkan Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas lama.

 

Pemegang saham berpendapat bahwa adalah kewajiban direksi (fiduciary duty) untuk memenuhi setiap permintaan dari pemegang saham untuk diadakannya RUPS-LB. Sementara direksi PT Semen Padang berpendapat sebaliknya. Kendati demikian, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membenarkan atau menyalahkan argumen-argumen yang digunakan para pihak, namun hanya bermaksud meninjau apakah secara normatif menyelenggarakan RUPS-LB merupakan fiduciary duty dari direksi atau bukan.

 

Apabila kita membaca pasal-pasal aquo, kita akan mendapatkan kesan bahwa UUPT mewajibkan direksi untuk melakukan pemanggilan RUPS luar biasa. Karena pasal demi pasal menjelaskan urutan bagaimana RUPS luar biasa dapat dilaksanakan, dimulai dari permintaan penyelenggaraan RUPS dari pihak atau pihak-pihak yang mewakili satu per sepuluh dari seluruh saham dengan hak suara atau atas permintaan Dewan Komisaris (Pasal 79 ayat (2) UUPT) yang diajukan dengan surat tercatat beserta alasannya (ayat (4) UUPT), dan bahwa direksi wajib melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS diterima.

 

Pasal-pasal selanjutnya menjelaskan mekanisme lanjutan yang dapat diambil sekiranya direksi tidak memanggil RUPS, yaitu melalui Dewan Komisaris, dan kemudian pada Pasal 80 ditentukan, sekiranya tetap tidak dilakukan pemanggilan, pemegang saham yang meminta penyelenggaraan RUPS dapat mengajukan permohonan kepada ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi kedudukan perseroan untuk menetapkan pemberian izin kepada pemohon untuk melakukan sendiri pemanggilan RUPS tersebut.

 

Sebenarnya, permasalahan wajib atau tidaknya direksi menyelenggarakan RUPS luar biasa terjawab pada Pasal 80 ayat (1) jo ayat (4) UUPT, khususnya pada ayat (4), yang mengatur bahwa ketua Pengadilan Negeri akan menolak permohonan dalam hal pemohon (pemegang saham) tidak dapat membuktikan secara sumir bahwa persyaratan telah terpenuhi dan pemohon mempunyai kepentingan yang wajar untuk diselenggarakannya RUPS.

 

Ada yang perlu diingat dalam masalah ini. Pertama, dalam menjalankan fiduciary duty, direksi mutlak memiliki diskresi dan kebebasan dalam membuat keputusan, yang menurutnya adalah yang paling baik untuk kepentingan perseroan. Apabila ternyata keputusan tersebut salah, maka keputusan tersebut akan dinilai dengan mekanisme --yang dikenal dengan -- business judgment rule. Kedua RUPS merupakan organ tempat para pemegang saham memutuskan roda bisnis perseroan, sehingga belum tentu semua pemegang saham memiliki kepentingan yang sama atau mempunyai pandangan yang sama satu sama lain.

Tags: