Survei ini menyatakan, masyarakat miskin akan memanfaatkan PA jika biaya perkara diabaikan, ada tambahan informasi soal PA, dan sidang digelar di tempat terbuka atau tidak di gedung pengadilan. Mereka juga akan dengan senang hati berperkara di PA jika dukungan paralegal diberikan.
Sejatinya masyarakat miskin bisa menempuh jalur prodeo. Sayang, jalur ini belum sepenuhnya bisa diandalkan. Sebuah PA mengenakan biaya Rp66.000 (sekitar 30% dari pendapatan mereka) dan PA yang lain mengenakan biaya antara Rp100.000 hingga Rp200.000 (sekitar 45-90% pendapatan mereka). Karena itu, survei ini memberi rekomendasi agar biaya dan prosedur prodeo dibakukan.
Pengguna puas
Sementara itu, lebih dari 70% masyarakat yang pernah berperkara di PA mengaku puas dengan pelayanan PA. Mereka akan kembali menggunakan PA jika menghadapi masalah hukum serupa. Mereka juga akan merekomendasikan kepada keluarga atau kolega mereka untuk menyeselesaikan masalah hukum keluarga di PA.
Pandangan terhadap Jasa PA
Penilaian | Membenarkan | Tidak | Tak menjawab
|
Hakim memahami persoalan responden | 83,3% | 3,4% | 13,3% |
Pegawai selalu membimbing responden dengan baik | 88,2% | 2,7% | 8,5% |
Pegawai dapat memberi jawaban atas berbagai pertanyaan | 73,4% | 13,3% | 13,2% |
Pegawai dengan senang hati menjabarkan prosedur berperkara | 72,3% | 12% | 15,6% |
Perkara diproses dengan cepat dan efektif | 74% | 14% | 12% |
Akses terhadap seluruh dokumen yang relevan dikabulkan | 71,6% | 19,5% | 8,8% |
Informasi mengenai proses peradilan jelas | 80,2% | 10,6% | 9,3% |
Berkas-berkas yang harus dilengkapi sangat jelas | 45,4% | 29% | 25,6% |
Rata-rata perkara di PA bisa dirampungkan tak lebih dari tiga bulan. Bahkan, sekitar 30 % perkara dapat dituntaskan dalam sebulan. Penundaan sidang juga terhitung jarang di PA.
Direktur Eksekutif PPIM Drajat Burhanuddin menyatakan, ini merupakan survei pertama di Indonesia yang khusus berkaitan dengan insititusi Pengadilan Agama. Survei ini, menurut Drajat, menunjukkan keterbukaan kalangan PA dan Mahkamah Agung. Ternyata kepuasan masyarakat pengguna cukup tinggi, baik laki-laki maupun perempuan, ujarnya, Jumat (14/9).
Apresiasi positif masyarakat terhadap pelayanan PA sebenarnya sudah pernah terungkap enam tahun silam. The Asia Foundation melalui sebuah survei mentasbihkan PA sebagai institusi yang nangkring di kasta teratas dalam hal pelayanan. Ketika itu, bersama dengan pemuka agama, PA disebut-sebut sebagai institusi terpercaya, bekerja dengan baik, tepat waktu, membantu, dan menjadi institusi pertama yang dipakai masyarakat jika menghadapi masalah. Yah, kinerja PA termasuk efektif.
Sebaliknya, kinerja Pengadilan Umum dan polisi dianggap tak efektif. Institusi ini tak bisa dipercaya, cenderung korup, mengabaikan hak asasi manusia, dan suka berpihak pada kalangan berduit. Badan Arbitrase Nasional Indonesia dan Komisi Ombudsman Nasional bahkan lebih tragis. Insititusi ini dianggap tidak diperlukan. Karena itu kebanyakan masyarakat tak mengenalnya.
Untuk diagnosis
Dirjen Badan Peradilan Agama (Badilag) MA Wahyu Widiana mengaku cukup kaget dengan temuan bahwa lebih dari 70% masyarakat puas dengan pelayanan PA. Semula ia menduga angka kepuasan pengguna PA tak setinggi itu. Wahyu menegaskan, hasil survei PPIM ini berguna untuk mendiagnosa persoalan yang ada di PA. Karena itu, hasil survei ini akan segera ditindaklanjuti. Badilag bakal berkoordinasi dengan Uldilag untuk merancang langkah berikutnya.
Sementara itu, Ketua Muda Uldilag MA Andi Syamsu Alam menyatakan, pada 2008 nanti anggaran untuk prodeo di PA akan ditingkatkan. Kemungkinan masyarakat miskin hanya akan mengeluarkan biaya transportasi. Anggaran untuk itu berasal dari DIPA (Daftar Isian Penggunaan Anggaran—red), jelas Andi. Untuk keperluan ini, Andi mengaku sudah mendapat lampu hijau dari Wakil Ketua MA.
Mestinya, masyarakat yang memiliki masalah hukum seputar perkawinan menyelesaikan masalahnya itu lewat Pengadilan Agama (PA). Tentu apabila cara-cara kekeluargaan sudah mentok. Namun faktanya, masih banyak masyarakat yang tak bisa menyelesaikan masalahnya di PA. Mereka adalah masyarakat dengan pendapatan dan tingkat pendidikan yang pas-pasan.
Sebuah survei yang diselenggarakan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), yang dirilis akhir Agustus lalu, berkesimpulan seperti itu. Survei ini melibatkan lebih dari seribu responden yang tersebar di 35 lokasi di seluruh Indonesia. Tak hanya pengguna jasa PA, hakim dan calon pengguna PA pun dilibatkan. Tingkat akurasi survei ini sekitar 95 %.
Berdasarkan survei ini, masyarakat miskin yang masih jadi ‘calon pengguna PA' rata-rata hanya berpenghasilan Rp225.000 per bulan. Dari segi pendidikan, 43% mereka adalah lulusan SD, 3,9% tidak pernah duduk di bangku sekolah, dan 2,5% buta huruf. Sementara itu, masyarakat yang telah menggunakan jasa PA rata-rata berpenghasilan Rp956.500 per bulan. Dari segi pendidikan, 32,3 % mereka tamatan SD, dan 67,7 % menerima pendidikan yang lebih tinggi.
Untuk berperkara di PA, masyarakat rata-rata harus mengeluarkan biaya sebesar Rp1 juta. Uang sejumlah itu tentu cukup memberatkan bagi masyarakat miskin. Belum lagi, mereka juga harus mengeluarkan biaya transportasi sekitar Rp35.000 jika hendak pergi ke PA—pulang dan pergi.
Pandangan ‘calon pengguna PA' tentang
cara memperbaiki akses ke PA
Pandangan
| Prosentase |
Akan menggunakan PA jika biaya perkara diabaikan | 98,1% |
Akan menggunakan PA jika diberikan tambahan informasi | 97,2% |
Akan menggunakan PA jika informasi diberikan secara lisan atau atau dalam bentuk kaset/video | 87,4% |
Akan menggunakan PA jika dukungan paralegal diberikan | 91,2% |
Akan menggunakan PA jika para hakim mengunjungi mereka melalui pengadilan terbuka di kota terdekat | 95,9% |