​​​​​​​Sepakat dan Permasalahannya: Lahirnya Perjanjian
Catatan Hukum J. Satrio

​​​​​​​Sepakat dan Permasalahannya: Lahirnya Perjanjian

​​​​​​​Pihak yang sepakatnya mengandung cacat, dengan tidak memanfaatkan Pasal 1454 B.W. untuk keuntungannya, maka ia dianggap menyetujui perjanjian itu.

RED
Bacaan 2 Menit

- ……………..  

- dalam halnya paksaan, sejak hari paksaan itu telah berhenti,

- dalam halnya kekhilafan atau penipuan, sejak diketahuinya kekhilafan atau penipuan itu. 

 

Jadi, sekalipun perjanjian, yang pada waktu penutupannya mengandung cacat dalam kehendak, tetap lahir, tetapi dalam waktu lima tahun sejak paksaan itu tidak ada lagi, atau sejak disadari bahwa ia tersesat atau tertipu, yang bersangkutan harus mengajukan tuntutan pembatalan perjanjian itu, kalau tidak, maka perjanjian itu mengikat para pihak sama seperti perjanjian yang sah.

 

Kalau benar begitu, bukankah orang yang mentutup perjanjian atas dasar adanya cacat dalam kehendak sebenarnya tidak menghendaki perjanjian itu? Ia telah menyetujuinya karena ia tersesat, terpaksa atau tertipu.

 

Namun, dari dimungkinkannya tuntutan pembatalan atas perjanjian yang mengandung cacat dalam kehendak, bisa kita katakan, perjanjian yang mengandung unsur cacat dalam kehendak pada waktu penutupannya -- sekalipun sebelum dituntut pembatalannya mengikat para pihak namun -- merupakan perjanjian tidak sah.

 

Perjanjiannya lahir, tapi tidak sah, dalam arti bisa dituntut pembatalannya oleh pihak yang kehendaknya cacat. Bukankah perjanjian yang sah mengikat para pihak sebagai suatu undang-undang (Pasal 1338 ayat 1 B.W.) dan hanya boleh dibatalkan atau diubah dengan sepakat para pihak atau dalam hal undang-undang membolehkan hal itu (baca Pasal 1338 ayat 2 B.W.)? Tidak sah di sini dalam arti, atas tuntutan pihak yang kehendaknya cacat perjanjian itu bisa dibatalkan

 

Lalu bagaimana orang membenarkan akibat yang disebutkan di atas?

 

Dalam peristiwa seperti itu, pihak yang sepakatnya mengandung cacat, dengan tidak memanfaatkan Pasal 1454 B.W. untuk keuntungannya, maka ia -- yang tersesat, terpaksa dan tertipu -- dianggap menyetujui perjanjian itu.

 

Yang namanya anggapan belum tentu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

 

Pada umumnya -- memang tidak selalu, tetapi kebanyakan -- suatu perjanjian adalah hasil perundingan, tawar menawar mengenai harganya, mengenai syarat-syaratnya atau janji-janjinya -- sampai suatu ketika dicapai sepakat, sehingga lahirlah perjanjian.

 

Namun jangan dikira, bahwa perjanjian itu baru lahir kalau semua segi perjanjian telah disepakati. Ternyata, kalau segi-segi pokok -- yang utama, yang esensiil untuk adanya perjanjian itu -- telah disepakati, maka perjanjian itu sudah lahir, sekalipun ada segi detail tertentu yang belum disepakati. Hal itu nampak dari Pasal 1333 B.W., yang mengatakan, bahwa:

Tags:

Berita Terkait