Sejumlah Isu Penting dalam Perubahan KUHAP
Terbaru

Sejumlah Isu Penting dalam Perubahan KUHAP

Mulai pemulihhan korban tindak pidana, diferensiasi fungsional, hingga hukum acara koneksitas.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Di lain sisi, hukum acara pidana tak menyediakan mekanisme komplain ketika hak tersangka/terdakwa tak dapat diakses yang bersangkutan. Ironisnya, praperadilan yang diharapkan mengoreksi kekeliruan yang dilakukan penegak hukum dalam pelaksaan upaya paksa khususnya, malah banyak berkutat dalam pemeriksaan yang bersifat administratif tanpa mau masuk ke ranah materil yang dapat memperkuat perlindungan hak-hak tersangka/terdakwa.

“Lebih ironisnya lagi, tidak ada konsekuensi yuridis apapun yang diletakkan terhadap sistem penanganan perkara seandainya penegak hukum melanggar hak-hak tersangka/terdakwa tersebut,” ujarnya.

Dosen Hukum pada Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Indonesia (Fisip UI) melanjutkan keempat lemahnya mekanisme akuntabilitas dalam penegakan hukum. Menurutnya, praperadilan yang semua diharapkan menjadi forum pengujian memiliki kelemahan fundamental dan berpengaruh terhadap tergerusnya perlindungan hak dan kebebasan individu dalam sistem peradilan pidana.

Sebab disain pengujian yang bersifat post-factum membuat forum praperadilan tidak mampu mencegah kesewenang-wenangan yang boleh jadi dilakukan penyidik pada tahap pra-persidangan. Selain itu, pemeriksaan yang hanya berkutat pada aspek administratif malah menjauhkan fungsi kontrol terhadap pelaksanaan upaya paksa yang seharusnya dijalankan oleh praperadilan.  Bahkan, hakim cenderung hanya memeriksa terpenuhinya persyaratan formil tanpa mendalami lebih jauh perihal kebutuhan dan justifikasi (materiil) dilakukannya upaya paksa terhadap tersangka/terdakwa.

“Selain hal-hal tersebut, ketidakjelasan pengaturan hukum acara praperadilan juga berpengaruh terhadap keterjangkauan dan keluasan teknis pemeriksaan perkara yang ditangani,” kata dia.

Kelima, pengaturan sistem pembuktiaan. Menurutnya, disain yang bertumpu pada pendekatan inquisitorial, KUHAP seolah memberikan kepercayaan lebih kepada penegak hukum untuk memperoleh bukti dengan cara-cara yang dianggap tepat dalam situasi dan kondisi yang dihadapi. Malahan, standar dan mekanisme kontrol yang dirumuskan KUHAP berkaitan dengan pengumpulan maupun pengujian relevansi bukti tidak diatur secara lengkap.

Memang KUHAP memberikan batasan definisi ‘bukti permulaan yang cukup’ dan ‘bukti yang cukup’ yang dijadikan dasar untuk melakukan tindakan-tindakan pro justitia. Akibatnya, ruang diskresi yang diciptakan terlalu besar untuk menjalankan kewenangan yang beririsan erat dengan terlanggarnya hak-hak maupun kebebasan individu yang terlibat dalam proses tersebut.  Sementara kesempatan yang diberikan KUHAP bagi tersangka/terdakwa maupun penasihat hukum dalam melakukan pengujian terhadap perolehan relevansi bukti masih amat terbatas.

Tags:

Berita Terkait