Satu Kompetensi Pengadilan Agama Terancam Hilang
RUU Perbankan Syariah

Satu Kompetensi Pengadilan Agama Terancam Hilang

Usulan pemerintah dinilai bertentangan dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama dan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Her
Bacaan 2 Menit
Satu Kompetensi Pengadilan Agama Terancam Hilang
Hukumonline

 

 

Naskah RUU Perbankan Syariah usulan Pemerintah

BAB IX

Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah

Pasal 52

Penyelesian sengketa pada perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan umum.

 

Penjelasan:

Penyelesian sengketa pada perbankan syariah dilakukan melalui pengadilan umum karena transaksi terkait dengan perbankan syariah bersifat komersial.

Sebelum penyelesaian sengketa diserahkan kepada pengadilan umum dapat dilakukan upaya-upaya sebagai berikut:

a.      Melalui musyawarah.

b.      Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui mediasi perbankan atay mekanisme arbitrase syariah.

 

 

Selain itu, tandas Prof. Amin, usulan pemerintah juga tidak sinkron dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Karena itu, jika usulan pemerintah diterima, RUU Perbankan Syariah akan bertentangan secara horizontal dengan UU PA dan bertentangan secara vertikal dengan UU Kekuasaan Kehakiman.

 

Mengenai pengadilan mana yang berwenang, biarlah itu mengacu kepada Undang-Undang yang sudah ada. RUU Perbankan Syariah ini tidak perlu mengaturnya, ujar Prof. Amin. Menurut Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta ini, langkah DPR sudah tepat ketika tidak memasukkan masalah penyelesaian sengketa ke dalam draf RUU ini.

 

Rejim Bisnis

UU PA disahkan pada Maret 2006. Artinya, belum genap dua tahun PA memiliki wewenang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Kini wewenang itu akan beralih kepada pengadilan umum. Ini kacau nantinya. Pemerintah yang memberi wewenang PA melalui UU No. 3 Tahun 2006, sekarang pemerintah juga yang mencabut, kata Prof. Fathurrahman Djamil, Guru Besar UIN Jakarta.

 

Ia ini menjelaskan, penyusunan RUU Perbankan Syariah mulai dirintis lima tahun silam. Bank Indonesia (BI), selaku regulator, saat itu sudah melakukan kajian intensif soal pengadilan mana yang secara ideal menyelesaikan sengketa perbankan syariah.

 

Bersama sebuah tim konsultan dari UIN Jakarta yang diketuai Prof. Fathurrahman, BI, pada 2003 menyusun laporan Prinsip-prinsip Hukum Islam dalam Transaksi Ekonomi pada Perbankan Syariah. Laporan itu lantas dijadikan back up paper RUU Perbankan Syariah.

 

Laporan itu menyebutkan, sengketa ekonomi syariah bisa dituntaskan dengan tiga alternatif. Perundingan kedua belah pihak yang bersengketa atau sulh merupakan alternatif pertama. Jika gagal, alternatif kedua ialah memanfaatkan lembaga arbitrase. Dan, alternatif ketiga, jika arbitrase tidak membuahkan hasil, ialah membawa ke PA. Laporan ini merekomendasikan agar UU No. 7 Tahun 1989 direvisi sehingga PA memiliki kompetensi di bidang ini.

 

Menurut Prof. Fathurrahman, BI banyak memberikan kontribusi dalam penyusunan RUU Perbankan Syariah. Namun, karena yang punya inisiatif membuat RUU ini ialah pemerintah (Departemen Keuangan), sebagian gagasan BI diabaikan.

 

Pada dasarnya, kata Prof. Fathurrahman, sejak awal BI menghendaki agar persoalan pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah tidak dicantumkan dalam RUU ini. Karena, ini bukan rejim-nya. Rejim Undang-Undang ini adalah bisnis, bukan kekuasaan kehakiman, tandasnya.

 

Tidak ikut Campur

Secara terpisah, ketika diminta tanggapan terkait RUU Perbankan Syariah, Dirjen Badan Peradilan Agama MA (Badilag) Wahyu Widiana menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah dan DPR. Kami tidak ikut campur. Kami akan menjalankan apa pun yang diamanatkan Undang-Undang, paparnya.

 

Wahyu menyadari, usulan pemerintah tersebut akan mengurangi kewenangan PA. Meski demikian, pihaknya tidak mengintervensi proses legislasi ini. Kami di MA tidak memberikan pendapat, kecuali jika diminta menjadi narasumber, jelasnya.

 

Di senayan, pembahasan DIM RUU Perbankan Syariah baru dilangsungkan pada 11-12 Februari. Pekan lalu, seluruh fraksi telah menyampaikan pendapatnya ketika Komisi XI DPR mengadakan rapat dengar pendapat bersama pemerintah.

 

HISSI berencana menyampaikan sikapnya secara langsung kepada Panitia Kerja DPR yang mengutak-atik pasal demi pasal RUU ini. Kami optimis DPR akan menolak usulan pemerintah. Pengadilan Agama akhirnya tetap diberi kewenangan menyelesaikan sengketa perbankan syariah, cetus pengurus HISSI Jaenal Aripin.

 

Tidak hanya HISSI yang bakal ‘curhat' kepada wakil rakyat, beberapa elemen lain juga bakal turut serta. Menurut Sekretaris Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat (PPHIM) Zainuddin Fajari, usulan pemerintah ini sudah didengar masyarakat di daerah. Tokoh-tokoh dan ulama-ulama di daerah sudah menyampaikan protesnya. Kami mendapat surat dari MUI daerah-daerah seperti Jawa Timur, NTB, Kalimantan, dan lain-lain, bebernya.

Diam-diam, pemerintah berniat menyerahkan kewenangan penyelesaian sengketa dalam perbankan syariah kepada peradilan umum. Hal itu bisa terbaca dari usulan pemerintah yang dituangkan pada Daftar Inventarisasi  Masalah (DIM) RUU Perbankan Syariah.

 

Pemerintah mengusulkan agar ada penambahan satu bab khusus soal penyelesaian sengketa perbankan syariah. Di dalam bab itu terdapat satu pasal yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa pada perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan umum.

 

Usulan itu ditentang keras oleh Himpunan Ilmuwan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI). Usulan pemerintah itu bertentangan dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama yang memberi kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, kata Ketua HISSI Prof. Amin Suma, pada acara Pertemuan Anggota HISSI di Jakarta, Jumat (8/2).

 

Pada Pasal 49 UU Pengadilan Agama (UU PA) memang menyebutkan, salah satu kompetensi PA adalah menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah. Dalam hal ini ekonomi syariah dirinci menjadi 11 jenis. Salah satunya adalah perbankan syariah.

Tags: