Terhadap masalah ini, Juanda Pangaribuan menawarkan solusi. Ia berharap agar PHI juga memberlakukan proses pemeriksaan pendahuluan (dismissal process) lazimnya praktik di PTUN. Kalau sudah ada dismissal proces ini, harusnya tidak ada lagi putusan NO.
Pasal 83 Ayat (2) UU PPHI sejatinya sudah mewajibkan hakim memeriksa isi gugatan dan memerintahkan penggugat menyempurnakan kekurangan gugatannya. Namun tidak jelas mengapa di bagian Penjelasan Pasal itu, kewajiban hakim itu malah diganti dengan kewenangan Panitera atau Panitera Pengganti.
Ketentuan Pasal dan Penjelasan Pasal 82 Ayat (2) UU PPHI itulah yang dikritik Juanda. Itu pasal 'banci'. Pasal pelipur lara. Pertama, karena tidak ada ketegasan mengenai batas waktu pemeriksaan gugatan. Kedua, karena panitera atau penitera pengganti yang diberi kewenagan, bisa jadi jarang bersinggungan dengan hukum ketenagakerjaan, lantangnya.
Masih pada kesempatan yang sama, Fauzan, Hakim Agung ad hoc PHI pada Mahkamah Agung, juga mengajak para hakim ad hoc untuk tidak melulu menyoroti sisi kelemahan UU PPHI. Ia meminta agar hakim ad hoc konsisten dalam menegakkan hukum.
Fauzan mencontohkan pembuktian dalam persidangan. Kendala yang kerap dialami buruh bisa diselesaikan jika hakim menerapkan Pasal 91 UU PPHI. Pasal itu memang memberi kewenangan kepada hakim untuk menyingkap dokumen dan bukti yang diperlukan. Praktiknya, bisa jadi belum pernah ada hakim yang menerapkan pasal itu.
Terlepas dari semua otokritik dan saran yang dikemukakan oleh hakim ad hoc, Kiagus Ahmad punya pandangan berbeda. Menurutnya, semua otokritik dan saran hakim ad hoc cuma berkutat di seputar praktis penyelenggaraan PHI. Ada masalah yang lebih fundamental, yaitu misalnya bagaimana pemerintah tidak menghilangkan intervensinya dalam melindungi buruh atau bagaimana supaya tidak ada lagi upaya mengkompromiskan hak normatif buruh di dalam pengadilan, tandas Pengacara Publik LBH Jakarta itu.
Kesejahteraan Minim
Masalah 'klasik' yang tak kunjung terselesaikan dari internal hakim ad hoc PHI juga masih mengemuka. Apa lagi kalau bukan masalah seputar kesejahteraan. Masalah kesejahteraan ini kemudian banyak variannya. Mulai dari masih terlambatnya pembayaran gaji atau tunjangan kehormatan, diskriminasi tunjangan kinerja (remunerasi) dan gaji ke-13, hingga potongan pajak yang tidak merata antara satu daerah dengan daerah lainnya.