Saat Hakim Ad Hoc PHI Berkeluh Kesah
Utama

Saat Hakim Ad Hoc PHI Berkeluh Kesah

Mulai dari kritik terhadap eksistensi dan penerapan hukum acara di PHI, hingga 'curhat' mengenai kesejahteraan Hakim Ad Hoc PHI.

IHW
Bacaan 2 Menit

 

Salah satu kendala yang kerap dijumpai buruh akibat kekakuan penerapan hukum acara perdata terlihat pada saat pembuktian. Janter, seorang Hakim PHI Tanjung Karang, Lampung mengungkapkan bahwa pada praktiknya gugatan buruh sering terhadang pada saat acara pembuktian. Hukum acara perdata menyatakan, siapa yang mendalilkan, harus membuktikan, ujarnya di dalam Konferensi Hakim Ad hoc PHI se-Indonesia 2008 yang diselenggarakan TURC, di Jakarta, Senin (26/8).

 

Padahal, lazim diketahui, buruh tidak punya kemampuan untuk mengakses dokumen perusahaan semisal anggaran dasar perusahaan hingga data absensi pekerja. Karenanya, saya berharap agar beban pembuktian nantinya juga bisa dibagi dengan pengusaha, Janter mengusulkan.

 

Masih seputar pembuktian di persidangan, Juanda Pangaribuan, hakim PHI Jakarta, juga urug rembug. Menurut dia, sepanjang PHI masih menerapkan hukum acara perdata, beban biaya yang mesti ditanggung buruh teramat besar. Untuk bukti tertulis, buruh mau tidak mau harus meleges dengan meterai setiap buktinya. Untuk keperluan itu, buruh sedikitnya harus merogoh kocek sebesar Rp11.000 untuk tiap alat buktinya. Bagaimana kalau alat buktinya puluhan? ujarnya.

 

Di satu sisi Pasal 58 UU PPHI menegaskan bahwa tiap perkara yang nilai gugatannya di bawah Rp150 juta, biaya perkaranya dibebankan kepada negara. Ini menjadi lucu. Harusnya negara yang menanggung biaya perkara. Tapi dengan adanya biaya leges dan meterai itu, malah buruh yang memberi pemasukan kepada negara, tukas Juanda.

 

Permasalahan lain yang mengemuka dari otokritik hakim ad hoc PHI adalah mengenai eksekusi putusan PHI. Tak jarang ditemui fakta dimana buruh hanya menang di atas kertas. Pengusaha dengan berbagai dalihnya tak kunjung melaksanakan putusan PHI. Belum lagi administrasi dan biaya eksekusi melalui Pengadilan Negeri yang amat membebani buruh.

 

Terkait masalah eksekusi itu, Jilun, hakim PHI Palembang, berharap agar lembaga paksa badan (gijzeling) bisa diterapkan di PHI. Tujuannya jelas: supaya tidak ada pengusaha yang mbalelo atas putusan pengadilan. Gijzeling yang pernah ditiadakan pada tahun 1964, dihidupkan kembali oleh Mahkamah Agung melalui Perma No 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan.

 

Stigma yang berkembang di masyarakat di mana PHI dinilai sebagai penindas keadilan bagi buruh juga tidak dipungkiri para hakim Ad hoc ini. Acap kali gugatan buruh berujung pada putusan N.O alias putusan yang menyatakan gugatan buruh secara formal tidak dapat diterima.

Tags: