Rezim Pelarangan Buku yang Mengkhawatirkan
Fokus

Rezim Pelarangan Buku yang Mengkhawatirkan

Petisi menolak pelarangan buku meluas. Argumentasi menganggu ketertiban umum dinilai lemah. Keputusan melarang barang cetakan sebaiknya dilakukan lewat proses peradilan yang terbuka. Sejumlah tokoh mempersiapkan judicial review atas UU Kejaksaan.

Mys
Bacaan 2 Menit

 

Berdasarkan catatan hukumonline, bukan kali ini saja Kejaksaan mengawasi barang cetakan buku. Pada 2005 silam, Clearing House di Kejaksaan Agung melakukan penelitian dan kajian terhadap buku “Habis Gelar Terbitlah Terang 2” (terbitan Pustaka Cahaya Alam bekerjasama dengan Yayasan Kanker dan Narkoba Cahaya Alam Probolinggo).

 

Pertemuan sejumlah tokoh dan aktivis pada 8 Januari 2010 lalu melahirkan petisi menolak larangan peredaran buku. Tidak kurang dari 82 tokoh ikut meneken petisi itu, mulai dari pekerja film Abduh Azis hingga anggota Komnas HAM Yoseph Adi Prasetyo. Nama Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis, Ikrar Nusa Bakti, Johnson Panjaitan, Hendardi, Mas Achmad Santosa, Asfinawati dan Agung Putri termasuk di dalam 82 nama pendukung petisi.

 

Ini bukan suara penolakan yang pertama. Sehari sebelumnya, Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyuarakan petisi serupa. “Kami mendesak moratorium pelarangan buku,” tandas Ketua Badan Pengurus YLBHI Patra M. Zen.

 

Pada penghujung Desember 2009, Koalisi Masyarakat Sipil Pembela Hak Berekspresi sudah mencetuskan petisi penolakan atas pelarangan buku. Koalisi menganggap Kejaksaan Agung melanggar kebebasan berekspresi yang dijamin dan dilindungi konstitusi.

 

Memprihatinkan

Budayawan Goenawan Mohamad tak menampik bahwa pelarangan buku sudah dikenal sejak zaman Bung Karno. Dulu, bukan hanya buku yang dilarang tetapi juga novel dan puisi. “Misalnya karya Sutan Takdir Alisjahbana,” kata Goenawan.

 

Kebijakan itu dilanjutkan era Orde Baru. Pada era reformasi pelarangan buku berkurang drastis. Kini, di era Kabinet Indonesia Bersatu, politik pelarangan buku kembali dianut.

 

Inilah yang memprihatinkan sejumlah tokoh dan aktivis. Nursyahbani Katjasungkana khawatir kebijakan represif terhadap buku akan mematikan kreativitas serta  menimbulkan ketakutan berpendapat dan bertukar pikiran. Senada dengan tokoh lain, aktivis perempuan ini berpendapat pelarangan buku melanggar hak asasi manusia.

Tags:

Berita Terkait