Rezim Pelarangan Buku yang Mengkhawatirkan
Fokus

Rezim Pelarangan Buku yang Mengkhawatirkan

Petisi menolak pelarangan buku meluas. Argumentasi menganggu ketertiban umum dinilai lemah. Keputusan melarang barang cetakan sebaiknya dilakukan lewat proses peradilan yang terbuka. Sejumlah tokoh mempersiapkan judicial review atas UU Kejaksaan.

Mys
Bacaan 2 Menit

 

Selain karena keberlanjutan kebijakan pelarangan buku, kekhawatiran para aktivis petisi penolakan dilandasi meluasnya pejabat yang bertekad melarang buku. Faktanya, bukan hanya Kejaksaan Agung yang menganut kebijakan itu, tetapi juga Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, sudah membentuk tim pengkaji buku. Diberi waktu selama dua minggu, tim ini mengkaji lebih dari 20 judul buku yang disinyalir berpotensi memecah keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

 

Patrialis memang tidak menyebut secara spesifik buku-buku dimaksud. Namun ia mengatakan tim tersebut bertugas melakukan kajian, dan kelak hasilnya dilaporkan ke rapat bersama Menko Politik, Hukum dan HAM. Meskipun baru melakukan kajian, langkah Patrialis dinilai Goenawan berlebihan. Sebab, Patrialis memegang kendali pada kementerian yang mengurusi HAM. Larangan peredaran buku dianggap melanggar hak asasi manusia. “Saya tidak tahu apa arti HAM bagi Patrialis,” ketus Goenawan.

 

Para tokoh dan aktivis yang menyampaikan petisi berpandangan, pelarangan buku tak bisa dilakukan secara sepihak dan diam-diam. Lantaran menyangkut hak asasi manusia, penentuan pelarangan harus diproses dan diputuskan lewat pengadilan. “Kami minta pemeriksaan dan pengambilan keputusan pelarangan buku dilakukan secara terbuka melalui mekanisme di muka badan peradilan,” tandas Ketua Badan Pengurus YLBHI, Patra M. Zen. 

 

Tak bisa dibendung

Kejaksaan Agung sebenarnya bukan hanya melarang peredaran buku dan penggandaannya, tetapi juga memaksa masyarakat untuk menyerahkan kembali buku terlarang kepada Kejaksaan Tinggi atau Kejaksaan Negeri setempat. Bahkan, Kejaksaan Agung meminta aparat kejaksaan dan kepolisian di daerah bertindak, yakni menyita barang-barang cetakan terlarang. Didiek Darmanto menunjuk kewajiban itu pada Undang-Undang No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang Cetakan yang Isinya Dapat Menganggu Ketertiban Umum.

 

Perintah melakukan sita itu dikecam Nursyahbani. Sudah menjadi rahasia umum, kebijakan melarang buku justru menumbuhkan rasa ingin tahu masyarakat. Buku Goerge Junus Aditjondro contohnya. Setelah kontroversi, banyak orang mencari dan harganya naik lebih dari tiga kali lipat.

 

Kejaksaan, kata Nursyahbani, tidak akan bisa menghentikan peredaran buku, apalagi menghambat orang untuk mendapatkannya. Selain karena buku terlarang sudah terlanjur beredar, peredarannya pun bisa dilakukan lewat internet sehingga sulit dipantau korps adhyaksa. Nursyahbani mengingatkan Kejaksaan bahwa membaca  buku terlarang bukanlah suatu tindak pidana. “Apa perbuatan pidananya kalau kita membaca sebuah buku, sekalipun dilarang Kejaksaan,” tandas mantan anggota Komisi III DPR itu.

 

Nursyahbani malah menilai Kejaksaan salah menafsirkan dan memahami kewenangannya dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2004. Kejaksaan sejatinya hanya berwenang mengawasi. Itu pun hanya ‘turut’ mengawasi. Kejaksaan tidak bisa secara sepihak memutuskan pelarangan.

Tags:

Berita Terkait