Putusan MK Tidak Bisa Dijadikan Dasar PK Amrozi
Berita

Putusan MK Tidak Bisa Dijadikan Dasar PK Amrozi

MA menolak permohonan PK yang diajukan terpidana mati kasus bom Bali 2002, Amrozi. Sementara Kuasa Hukum Amrozi berancang-ancang mengajukan PK kedua. Sang terpidana justru ogah mengajukan grasi dan ingin dihukum pancung.

NNC/Ali
Bacaan 2 Menit

 

Michdan menyayangkan sikap hakim agung yang lebih dahulu mengumumkan ke media massa. Ia mengharapkan untuk kasus-kasus yang berdampak luar biasa, harus dilakukan dengan bijak. Harus transparan dan segera diumumkan, tambahnya.   

 

Namun, Michdan tetap mencoba meraba-raba dari informasi yang ia dengar dari media massa. Menurutnya, hakim tidak bisa menerapkan UU 15/2003 pada Amrozi sebab  MK telah menyatakan norma dalam aturan tersebut sudah tidak mengikat lagi. Ia berancang-ancang bakal mengajukan PK lagi. Dasarnya, majelis hakim salah menerapkan norma hukum. Sebab dalam putusannya, MK sudah menyatakan pemberlakuan secara surut dalam UU Terorisme bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Berarti kalau tetap diberlakukan, MA melanggar HAM, ujarnya.

 

Djoko sebagai salah satu anggota majelis menjelaskan Putusan MK tidak bisa dijadikan novum. Sebab, putusan MK diketok belakangan setelah pengadilan tingkat pertama menjatuhkan vonis. Sehingga penerapan hukum oleh pengadilan tidak bisa serta merta disalahkan. Lagipula, jika dikatakan melanggara HAM, hukum acara Pemberantasan Terorisme mengenal prinsip yang disebut safe guarding rules atau pembatasan kekuasaan negara. Satu prinsip yang menjaga dan melindungi hak-hak asasi tersangka dan terdakwa kasus terorisme. Jadi tidak mungkin melanggar HAM, ujarnya.

 

Sedangkan menurut pengamat hukum Refly Harun menjelaskan, harus dibedakan antara rezim peradilan MK dan rezim Peradilan umum. Kalau pun MK menyatakan sebuah norma hukum dalam UU tidak mengikat lagi, MK tidak bisa mendikte hakim dalam menerapkan norma hukum yang akan dipakai. Tapi yang jelas, kalau misalnya pengadilan setelah berlakunya putusan MK mau menjadikannya pertimbangan, itu terserah hakim, ujarnya.

 

Namun yang perlu diketahui, lanjut dia, hakim tidak bisa lagi menerapkan Undang-Undang yang sudah dinyatakan tidak berkekuatan hukum mengikat oleh MK. Persoalannya, ketika diputus di PN dan PT, ketentuan retroaktif dalam UU Terorisme belum dinyatakan tidak mengikat lagi oleh. Tentu fakta hukum yang dipakai Pengadilan adalah fakta ketika UU tersebut masih berlaku, jelasnya. Otomatis, saat MA menguji penerapan hukum pengadilan di bawahnya,  tidak bakal ditemukan kesalahan penerapan.

 

Secara pribadi, Refly mengingatkan adanya asas hukum pemidanaan yang mengatakan jika saat berlangsung proses pengadilan terjadi perubahan norma hukum, maka yang dipakai adalah aturan yang paling menguntungkan bagi terdakwa. Namun, jika hal ini diterapkan mentah-mentah, akan dilematis. Dengan menganut asas itu, Amrozi bisa bebas seperti permintaan kuasa hukumnya dalam pengajuan PK. Ini juga akan merugikan rasa keadilan bagi korban aksi terorisme di Bali, tambahnya.

 

Sehingga menurut Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara UI ini, paling mungkin dilakukan adalah mengurangi hukuman Amrozi. Tentunya dengan mendasarkan telah terjadi perubahan norma hukum dari keberadaan putusan MK. Paling tidak, jika awalnya hukuman mati, hakim dengan mempertimbangkan putusan MK, bisa menurunkannya jadi hukuman seumur hidup, misalnya, tandas Refly.

Halaman Selanjutnya:
Tags: