PSHK: Revisi UU 12/2011 Harusnya Momentum Membenahi Tata Kelola Regulasi
Terbaru

PSHK: Revisi UU 12/2011 Harusnya Momentum Membenahi Tata Kelola Regulasi

Revisi UU PPP seharusnya tidak sebatas formalitas menjalankan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang hanya ingin memberi dasar hukum penerapan metode omnibus law.

Agus Sahbani
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terus mengebut proses revisi UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP). Sayangnya, proses yang dijalankan terkesan hanya untuk memberi dasar hukum penerapan metode omnibus law dalam pembentukan UU sebagai amanat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian formil UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

“Belakangan ini DPR berusaha menunjukkan upaya menjalankan asas keterbukaan dengan menyebarluaskan Naskah Akademik dan Draf RUU Perubahan UU PPP serta mengundang masyarakat untuk memberi masukan. Namun, bukan berarti langkah itu menjadi jaminan masukan publik akan diakomodasi dalam proses revisi,” ujar Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Agil Oktaryal saat dikonfirmasi, Kamis (10/2/2022).  

Agil mengakui DPR aktif menjalankan parade diskusi virtual mengundang akademisi membahas topik omnibus law. Memang rangkaian webinar itu dapat dipandang sebagai forum para akademisi menyampaikan masukan dan gagasan atas Naskah Akademik dan Draf RUU Perubahan UU PPP.  

Namun, penyelenggaraan webinar juga berpotensi dijadikan justifikasi oleh DPR sebagai metode partisipasi dalam pembentukan undang-undang. Karena itu, menurutnya diskusi berformat webinar tersebut tidak akan mampu menjawab permasalahan partisipasi publik yang sebenarnya dalam pembentukan undang-undang.

“Pemerintah dan DPR pernah menggunakan cara serupa ketika menanggapi permohonan pengujian sejumlah undang-undang di MK, seperti pada pengujian UU Cipta Kerja, pengujian Perubahan UU KPK, dan beberapa undang-undang lain,” kata Agil.  

(Baca Juga: 7 Catatan Keberatan F-PKS Atas RUU Pembentukan Peraturan)

Pemerintah dan DPR berargumentasi bahwa aspirasi dan masukan masyarakat telah ditampung melalui forum sosialisasi atau diskusi-diskusi publik, meskipun pada kenyataannya belum tentu publik yang hadir dalam forum-forum tersebut memberi dukungan atas substansi RUU yang disosialisasikan.

Menurutnya, teknokratisme kerap menjadi dalih dalam menampung aspirasi publik melalui sosialisasi keliling ke kampus-kampus. Asumsinya, dengan mengundang pakar, kompetensi mereka dapat dengan sendirinya mewakili kepentingan masyarakat. Hal itu bisa dimengerti, tetapi bukan berarti tanpa persoalan.

Tags:

Berita Terkait