PSHK: Revisi UU 12/2011 Harusnya Momentum Membenahi Tata Kelola Regulasi
Terbaru

PSHK: Revisi UU 12/2011 Harusnya Momentum Membenahi Tata Kelola Regulasi

Revisi UU PPP seharusnya tidak sebatas formalitas menjalankan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang hanya ingin memberi dasar hukum penerapan metode omnibus law.

Agus Sahbani
Bacaan 3 Menit

Pendekatan tersebut rentan menciptakan problem inklusivitas karena memandang validitas argumentasi hanya dari kompetensi kepakaran, bukan substansi. Kebiasaan seperti itu dikhawatirkan semakin mengisolasi wacana kepentingan publik ke dalam ranah diskusi elitis-akademis dan jauh dari harapan masyarakat.  

“Apabila penyusun kebijakan hanya memprioritaskan opini akademisi, yang sebetulnya sebagian dari elit, bayangkan betapa terisolasinya pendapat mereka yang jauh dari kekuasaan?”

Dari segi materi muatan dalam Draf RUU Perubahan UU PPP, kata dia, ketentuan mengenai partisipasi publik mengalami sedikit perubahan. Apresiasi patut diberikan kepada penyusun Naskah Akademik yang sudah memasukkan pijakan teori partisipasi yang cukup komprehensif. Namun, kendali warga negara sebagai tujuan utama partisipasi yang ditulis pada Naskah Akademik tersebut belum tercermin dalam substansi RUU. 

PSHK menilai penambahan frasa “terdampak langsung” dalam Pasal 96 ayat (3) sebagai prasyarat yang melekat pada hak memberi masukan justru dapat memunculkan masalah baru. Pengaturan pasal tersebut terkesan menciptakan kriteria yang kabur dan berpotensi menyempitkan ruang partisipasi publik.  

Sebab, keberadaan frasa tersebut bisa jadi bermaksud untuk mempermudah proses partisipasi agar lebih cepat. Tetapi, hal itu mengindikasikan bahwa RUU yang dibuat justru lebih cenderung untuk mengakomodasi kepentingan kemudahan teknis operasional DPR ketimbang kepentingan masyarakat secara luas.

Dia memandang revisi UU PPP seharusnya tidak sebatas formalitas menjalankan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Revisi UU PPP semestinya dilihat sebagai upaya pembenahan tata kelola regulasi secara komprehensif. Revisi seharusnya mengatur materi lain dalam mendukung tata kelola regulasi, seperti soal perencanaan, materi muatan, harmonisasi, monitoring dan evaluasi, hingga kelembagaan tata kelola peraturan perundang-undangan.

Proses “kejar tayang” saat ini menunjukkan bahwa DPR gagal melihat kesempatan merevisi UU PPP sebagai momentum untuk membenahi persoalan peraturan perundang-undangan yang lebih besar dan mengakar. Revisi UU PPP seharusnya ditujukan untuk melakukan reformasi regulasi secara menyeluruh, bukan proses tergesa-gesa sekedar memberikan justifikasi bagi metode omnibus law

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait